Kubawa gelas di atas mejaku yang sudah kosong ke dapur dan berniat mengambil minum lagi untuk menjernihkan pikiran. Saat meneguk air yang kuambil dari lemari pendingin, aku terkejut ketika melihat makanan di atas meja. Aku tidak ingat membuat atau membelinya. Ketika kupegang makanan itu sudah dingin.

Mataku langsung melebar ketika ingat kalau Erika tadi telah menyiapkan makan malam sebelum aku membentaknya. Astaga, bagaimana bisa aku lupa!

Kuambil telepon genggamku dan mencoba meneleponnya tapi nomornya tidak aktif. Sudah malam seperti ini, ke mana ia pergi? Apakah ia marah atau mungkin memikirkan ucapanku tadi?

Aku berlari ke mobilku dan menyetirnya secepat mungkin menuju tempat yang mungkin saja didatangi oleh Erika. Gadis itu tidak mengatakan akan ke mana tadi. Sial, seharusnya tadi aku menahannya atau mengejarnya sebelum ia pergi. Jika seperti ini, Erika bisa berada dimana saja. Walau ia masih terbilang baru di kota ini setelah kepergiannya selama tujuh tahun, tapi tetap saja ini adalah kota kelahirannya. Banyak tempat yang sudah sangat ia kenal ketika dulu masih berada di sini.

"Tuan Gibson?!" seruku ketika memasuki Jackline sambil mencari sosok perempuan yang bisa jadi berada di sini. Kuabaikan tatapan penasaran dari para pelanggan Jackline. Fokusku hanya untuk menemukan gadis itu.

"Dasthan? Ada apa?" Tuan Gibson nampak bingung ketika melihatku yang datang dengan lagak dramatis seperti itu.

"Apa Erika di sini?" tanyaku langsung tanpa berbasa-basi menyapanya.

"Erika? Dia memang di sini tadi, tapi sudah pulang sekitar satu jam lalu. Kenapa? Apa ada masalah?" Tuan Gibson terlihat panik ketika melihat wajah khawatirku.

"Tidak, dia tidak kembali ke rumah juga sejak tadi," jawabku setenang mungkin agar Tuan Gibson tidak ikut panik karena melihatku.

"Kurasa dia sudah jalan pulang. Mungkin dia mampir ke supermarket atau semacamnya di perjalanan pulang," kata Tuan Gibson yang sudah bisa tenang karena tahu tidak terjadi hal yang serius.

"Kalau begitu aku akan mencarinya, mungkin dia sudah pulang ke rumah. Maaf mengganggu Anda," kataku sesopan mungkin setelah membuat keributan di restoran kecilnya.

"Tidak masalah. Jika bertemu dengannya tolong katakan untuk tidak keluar malam seperti ini sembarangan lagi. Dia masih dalam bahaya," kata Tuan Gibson yang terlihat sangat peduli sekali dengan Erika.

Aku tidak mau membuang waktu untuk memikirkan hal lain sebelum gadis itu kutemukan. Ke mana sebenarnya ia? Bagaimana jika terjadi sesuatu kepadanya? Lagi pula, mengapa ia harus mematikan handphone-nya dan tidak memberitahuku ke mana ia pergi?

Mataku tidak melewatkan satu pun sudut kota untuk menemukan sosok gadis itu. Pikiranku semakin kacau ketika aku tidak juga menemukannya. Udara malam yang dingin terasa seperti ribuan jarum es yang menembus kulitku. Masih tidak ada tanda-tanda keberadaannya, tidak peduli sudah berapa kali aku berkeliling kota ini. Aku yakin kalau ia pasti masih berada di kota ini, tidak mungkin ia berada di luar kota dalam waktu kurang dari dua jam. Hanya saja aku benar-benar tidak tahu di mana Erika. Ia bisa ada di mana saja; di antara kerumunan orang di kota ini atau di depan mataku tapi aku tidak sempat melihatnya. Tidak ada orang yang bisa kuhubungi untuk memberitahuku apakah ada yang melihat Erika. Sebenarnya ia ada di mana? Kumohon, kumohon, kumohon semoga tidak terjadi apa-apa padanya.

Napasku seperti melayang keluar dari tubuhku ketika aku melihat sosok berjaket di taman kota dekat rumahku. Seperti orang yang kerasukan aku berlari keluar dari mobil dengan mata yang terus memandangi sosok itu agar ia tidak pergi. Kuharap ia bukan halusinasiku karena tidak kunjung juga menemukannya.

Ia di sana, itu benar-benar dirinya. Erika duduk di atas tiang-tiang kerangka berbentuk kubus dari besi yang berdiri kokoh dan tinggi di tengah taman bermain yang biasa digunakan untuk anak-anak.

REAPER (TELAH TERBIT)Where stories live. Discover now