Still ; 03

2.9K 543 65
                                    

"Itu siapa, ndut?"

(Namakamu) menoleh, senyum lebarnya sirna, Ia merengek, "Jelek banget panggilan 'ndut' tahuu!"

Iqbaal terkekeh. "Aku tadi nanya loh."

"Devano. Kakak kelas, tetangga, dan sahabat deket aku waktu SMP, tapi di SMA kita pisah. Makanya aku seneng banget waktu ketemu dia lagi," Senyum lebar itu kembali terpasang di wajah (Namakamu). Mereka berjalan menuju tempat parkir untuk pulang. Sambil berjalan, (Namakamu) melanjutkan, "Dulu tingginya sama loh. Eh, sekarang dia udah lebih tinggi dari aku! Dunia ini kejam ya buat cewek pendek kayak aku."

"Dunia nggak kejam, kok. Justru aku seneng punya cewek pendek kayak kamu."

"Kenapa gitu?"

Iqbaal berhenti dan tersenyum, menghadapkan tubuhnya ke arah (Namakamu) lalu mengecup kening gadis itu lima detik. "Cewek pendek enak dicium keningnya." Setelah itu, Iqbaal berlari kecil meninggalkan (Namakamu) yang ternganga. Gadis itu memutar kepalanya ke sekitar, berdesis saat melihat tempat ini begitu ramai. Ia kembali ke mobil dengan wajah sedikit menunduk lalu duduk di samping kemudi.

Ia berbicara pada kekasihnya, "Sehari nggak bikin aku kesel, nggak bisa?"

"Enggak. Kamu lucu tahu kalau lagi kesel. Aku suka lihatnya," Iqbaal cengengesan dan mulai melajukan mobil ke jalan raya. "Ndut."

(Namakamu) menjawab dengan gumaman malas.

"Kalau aku bilang, aku nggak su--nggak deh, nggak jadi."

Alis (Namakamu) menyatu. Ia mengurungkan niatnya untuk bertanya tentang apa yang terjadi. Karena ada yang jauh lebih penting dari itu, kemacetan di depan mata. (Namakamu) mengambil napas panjang dan menghelanya. Berharap kemacetan di depan matanya itu hanya sebentar.

Namun sayangnya, setelah hampir tiga puluh menit, mobil mereka hanya bergerak dua meter. Iqbaal sudah berkali-kali mengaduh dan menyumpah-serapahi kemacetan. (Namakamu) kadang tertawa geli melihat Iqbaal mengomel.

"Fuck you traffic."

"Sabar, sabar," (Namakamu) mengelus lengan Iqbaal pelan, menyalurkan ketenangan. "Kayaknya setelah lampu merah macetnya udah nggak ada."

"Tapi lampu merah masih jauh, nduut."

"Ya iya sih, tapi kan kita juga jalan dikit-dikit, bentar lagi juga nyampe."

Iqbaal menghela napas, mengambil tangan (Namakamu) yang mengusap lengannya, dan menggenggamnya. Setelahnya, Iqbaal merasa tenang sekali. Kini Iqbaal tahu apa yang Ia butuhkan untuk meredakan amarah,

Menggenggam tangan kekasihnya, (Namakamu)nya.

***

Ujian Tengah Semester untuk SMA akan diselenggarakan minggu depan. (Namakamu) disibukkan dengan hal itu. Begitu pula dengan Iqbaal yang sering menghilang karena kesibukan shooting Bumi Manusia sejak tiga minggu yang lalu.

Usai menyimpan tugas yang baru saja Ia selesaikan ke atas meja belajar, (Namakamu) lekas mengambil ponselnya dan menghubungi Iqbaal melalui panggilan video. Senyum manisnya terpampang, menunggu panggilan itu diangkat oleh Iqbaal. Namun, hingga kali ketiga gadis itu mencoba menghubungi Iqbaal, tak satupun yang diangkat. Senyum gadis itu perlahan sirna. (Namakamu) menghela napas, mencoba berpikir positif jika Iqbaal mungkin sedang sibuk dan tidak mengecek ponsel.

Waktu sudah menunjukkan pukul sepuluh malam. Esok (Namakamu) harus bangun pagi untuk berangkat ke sekolah. Maka, gadis itu memutuskan untuk menyimpan ponselnya dan bersiap tidur. Sepasang netra yang sudah terpejam itu harus kembali terbuka karena suara nyaring dari ponsel yang menandakan ada panggilan masuk. Melihat nama 'Iqbaal' di layar ponselnya, semangat gadis itu kembali timbul. (Namakamu) langsung bangkit duduk dan mengangkat panggilan suara itu.

"Hai, nduut."

"Halo, Minkeee," (Namakamu) terkekeh sebentar. "Baru selesai shooting, ya?"

"Belum selesai malah. Masih ada empat scene lagi. Mungkin selesai jam dua belas-an, nggak tahu lah," Terdengar suara berisik dari ujung sana yang menandakan Iqbaal memang masih di lokasi shooting. "Kamu nggak tidur?"

"Hampir, tapi kamu tiba-tiba telepon."

"Eh, aku ganggu tidur kamu ya? Aku matiin aja deh."

"Jangan! Jangan! Nggak apa-apa kok. Aku udah biasa tidur malem, bangun pagi. Besok di sekolah juga bisa tidur di kelas."

"Jangan gitu, yang, nanti kamu malah sakit. Lagian aku udah dipanggil lagi buat take. Kamu tidur ya, aku matiin teleponnya. Good night, nduut."

"Baal, ta--" Tuut, tuut, tuut. (Namakamu) menghela napas, menatap ponselnya dengan sendu. "Tapi aku kangen, Baal ..." Ia kembali menghela napas saat matanya mulai terasa panas. (Namakamu) menaruh ponselnya ke atas nakas, menidurkan tubuh, dan lekas menutup matanya. Ia terlelap, bersamaan dengan setitik air mata yang jatuh membasahi bantal di bawah kepalanya.

***

Seorang laki-laki duduk sambil tersenyum manis memandangi gadis cantik yang sedang tertawa di hadapannya. Gadis itu, (Namakamu), mengusap pelan sudut matanya yang berair karena tertawa. "Parah, parah, sampai nangis gini."

"Lebay lo," Ledek laki-laki itu. (Namakamu) mencebik lalu memakan waffle yang Ia pesan. "Lo kenapa tiba-tiba ada di Jogja?" Laki-laki itu mengulang pertanyaannya yang tak kunjung dijawab oleh (Namakamu).

"Liburan aja sehabis UTS, menyegarkan pikiran," Jawab (Namakamu). "Nah, lo sendiri kenapa bisa ada di Jogja?"

Alis laki-laki itu menyatu. Ia memiringkan kepalanya, menatap lekat gadis di hadapannya. "Lo nggak tahu kalau gua kuliah di UGM?" (Namakamu) menggeleng pelan. "Oke, gue keterima di UGM, jurusan FISIP. Makanya itu gue bisa ada di sini."

"Ih, Kak Devano pinter yaa bisa masuk UGM!" (Namakamu) bertepuk tangan riang. Devano memutar bola matanya saat (Namakamu) meledeknya dengan memanggilnya 'Kak'. "Berarti lo bisa jadi tour guide gue dong?"

Devano tersenyum dan mengangguk. "Dengan senang hati. Lo mau kemana emangnya?" Tanya Devano yang hampir dua tahun tidak bertemu dengan (Namakamu). Ia sangat senang bisa menghabiskan lagi waktu bersama-sama seperti ini. Ingatannya kembali saat mereka masih duduk di bangku SMP. Bagaimana mereka melewati waktu itu dengan bahagia. Namun, asanya untuk menghabiskan liburan singkat ini dengan senang sepertinya harus sirna saat (Namakamu) meminta satu hal:

"Temenin gue ke lokasi shooting film Bumi Manusia. Gue tahu, kok, tempatnya! Lo tinggal tunjukkin aja tempatnya dimana terus temenin gue. Mau yaaaa?"

Devano berdecak pelan. "Lo beneran pacaran sama Iqbaal ya?"

"Menurut lo aja deh," Sahut (Namakamu) sambil terkekeh. "Jadi mau nemenin atau enggak, nih?"

"Iya, iya gue temenin. Mau kapan?"

(Namakamu) tersenyum lebar. "Sekarang!"

***

a/n; woy! masih ada yang mau baca nggak nih!?!?!?!??! apus aja deh ya, apus............

btw ntaran update lagi kok. ehe part setelah ini seru loh, jan lupa dibaca!!

April. [IDR]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang