13

4.2K 633 61
                                    

Seharian (Namakamu) tidak melakukan komunikasi apapun terhadap Iqbaal. Gadis itu menolak menjawab panggilan telepon atau kiriman pesan dari Iqbaal. Ia terus berpikir soal, apa yang akan terjadi setelah Iqbaal tahu jika (Namakamu) menyukainya?

"Harusnya gue nggak suka sama dia. Harusnya gue nggak nerima perjanjian konyol itu. Harusnya gue dan Iqbaal masih baik-baik aja tanpa perasaan apapun."

(Namakamu) terus-terusan menyalahkan dirinya sendiri. Sejatinya cinta memang tidak tahu kemana mereka akan hinggap. Manusia 'pun hanya bisa menjalankan takdir yang sudah Tuhan rangkai sebaik-baiknya. Kalau memang (Namakamu) mencintai Iqbaal, tidak ada yang perlu disalahkan. Yang harus (Namakamu) lakukan adalah berdamai dengan perasaan itu dan mencoba untuk mengetahui keputusan Iqbaal.

Tapi (Namakamu) menolak untuk tahu.

Gadis itu takut akan semua resiko. (Namakamu) benar-benar iklhas jika Ia hidup bersama cintanya yang sendiri. Karena jika sudah seperti ini, hidup (Namakamu) tidak akan tenang. Bayang-bayang Iqbaal akan terus terputar di otaknya. Diikuti dengan perasaan takut, bersalah, dan lainnya.

Drtt! Drrt!

(Namakamu) melirik ponselnya dan melihat pesan yang dikirim oleh Iqbaal melalui lockscreen.

Iqbaal: gue ke rumah ya
Iqbaal: jan ngilang luh!!

(Namakamu) berdecak. Untuk apa laki-laki itu pergi ke rumahnya? Gadis itu berdesis dan memikirkan cara agar Iqbaal mengurungkan niatnya itu. Namun saat (Namakamu) hampir menemukan cara itu, Ibunya berteriak jika Iqbaal sudah menunggunya di ruang tamu.

"Kok cepet banget, sih!?" (Namakamu) semakin kebingungan. Ia bergegas menuju lemari dan memilih pakaian apa saja yang sekiranya pantas untuk Ia pakai di hadapan Iqbaal. Karena terlalu terburu-buru, (Namakamu) tersandung kakinya sendiri dan jatuh di dalam kamar mandi. Gadis itu reflek menjerit saat lutut dan kedua tangannya menghantam lantai dengan cukup keras. Jatuhnya (Namakamu) bertepatan dengan Iqbaal yang melangkah masuk ke kamarnya. Laki-laki itu sontak berlari kecil ke arah (Namakamu) dan membantu gadis itu berdiri.

"Kok bisa jatoh sih?" Tanya Iqbaal heran. Laki-laki itu bergegas menggendong (Namakamu) menuju kasur, menidurkan gadis itu di sana, dan mengecek apa ada kaki atau tangan (Namakamu) yang terkilir.

"Nggak pa-pa kok. Lutut gue aja yang agak nyut-nyutan," (Namakamu) menepis halus tangan Iqbaal yang sedang menekan-nekan pergelangan kakinya. Laki-laki yang sedang duduk di atas kasur (Namakamu) itu mengalihkan pandangannya, menatap (Namakamu) dengan pandangan yang aneh.

"Pesan gue nggak ada yang lo bales."

(Namakamu) bergumam 'tak jelas. Iqbaal menghela napas, laki-laki itu jelas tahu alasannya.

"Tadi gue mau ngajak lo keluar, tapi karena lo sekarang sakit, jadi kita di rumah aja. Kartu UNO lo mana?"

(Namakamu) menunjuk meja belajarnya. Ia memasukkan kakinya ke dalam selimut lalu memandangi Iqbaal yang sedang mengamati meja belajarnya sekilas dan mengambil kartu UNO. Iqbaal duduk di atas kasur, berhadapan dengan (Namakamu). Ia mulai mengocok kartu dan membagikan enam kartu untuknya juga untuk (Namakamu).

Awalnya Iqbaal mengusulkan hukuman untuk yang kalah adalah wajahnya dicoret dengan lipstick. Namun (Namakamu) menolak karena 'tak ingin lipstick miliknya habis. Akhirnya, hukuman berganti: Jika salah satu pemain kalah bermain sebanyak dua kali, lawan main berhak memberi hukuman apapun pada pemain yang kalah. Permainan dimulai. (Namakamu) mengawalinya dengan bagus. Iqbaal tertinggal setelah harus mengambil empat kartu tambahan. Namun, saat (Namakamu) sedang fokus melihat kartunya yang tersisa tiga, Iqbaal justru berseru, "UNO GAME!"

April. [IDR]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang