05

4.1K 620 18
                                    

Sudah tiga hari Biru dirawat di Rumah Sakit. Saat pertama (Namakamu) sampai di rumah sakit, keadaan Biru cukup parah. Ada dua hansaplast di wajahnya dan sedikit goresan luka yang masih basah. Lalu tangan kirinya di gips. Bahkan, sampai (Namakamu) beranjak pulang-pun, Biru belum membuka matanya. Namun pagi ini, laki-laki itu akhirnya membuka mata sebelum (Namakamu) tiba. Tentu saja (Namakamu) senang bukan kepalang.

"Biru, bisa ngomong, nggak?" Tanya (Namakamu) dengan wajah menekuk sambil menatap Biru yang kini tersenyum geli. "Maksud aku, takutnya wajah kamu masih sakit untuk digerakkin. Kalau masih, nggak pa-pa, aku ngomong sendiri."

Biru tertawa, namun sedetik kemudian Ia meringis menyentuh luka di pipinya. "Ngomong aja, aku jawab sebisaku."

"Aku lagi throwback waktu kita pertama ngobrol. Malu-maluin sih, bagi aku. Tapi seneng juga, karena aku jadi tahu kamu ada."

[ flashback ; on ]

Setiap sekolah pasti memiliki agenda untuk kegiatan melatih kedisiplinan. Dan hari ini, sekolah (Namakamu) mengadakan kegiatan yang disebut LDKS (Latihan Dasar Kepemimpinan Siswa) selama tiga hari dua malam.

Pagi ini adalah hari kedua mereka melaksanakan LDKS. Kelompok (Namakamu) mendapatkan giliran untuk berolahraga menggunakan sepeda, dan (Namakamu) sangat senang akan hal itu. (Namakamu) menyukai olahraga bersepeda yang kini sudah jarang Ia lakukan akibat sekolah yang menuntut seluruh waktunya.

Panitia meminjamkan mereka sepeda yang memang disediakan oleh tempat ini. Naasnya, Panitia memang cerdik dalam mengatur siasat. Jalur yang mereka lalui bukan jalur biasa, melainkan jalur khusus untuk sepeda. (Namakamu) mengeluh, dia bisa bersepeda, namun tidak yang seperti ini. Sambil menunggu giliran, (Namakamu) mengamati teman-temannya yang datang dengan wajah gembira setelah melewati halang rintang. "Gitu doang ternyata!" Kata mereka semua.

Karena itu, (Namakamu) menjadi lebih percaya diri. Saat gilirannya dipanggil, (Namakamu) dengan lantang menjawab siap. Saat sudah turun ke halang rintang, otak (Namakamu) seolah beku, Ia tidak tahu apa yang harus Ia lakukan. Sampai akhirnya, Ia keluar dari jalur dan menjatuhkan diri di atas rerumputan. Udah sakit, malunya sampai ke ubun-ubun lagi, gerutu (Namakamu) saat panitia yang berjaga menolong dirinya. (Namakamu) kembali menaiki sepeda dan melewati halang rintang yang tinggal sedikit itu dengan baik. Setelah itu, dia dan salah satu temannya bernama Adila meminjamkan sepeda mereka kepada yang lain—karena memang jumlah sepeda yang tidak memadai.

"Eh, kaki lo berdarah!" Adila berseru sambil menunjuk mata kaki kanan (Namakamu) yang mengeluarkan darah dari goresan-goresan kecil. "Ayo, kasih tahu kakak panitia!"

(Namakamu) menurut saja saat tangannya di tarik oleh Adila. Dia tidak merasakan apa-apa sejak tadi. Mungkin jika Adila tidak peka terhadap lukanya, sampai mereka pulang ke sekolah pun (Namakamu) tidak akan sadar.

"Kak, teman saya luka," Ujar Adila kepada salah satu paniti yang berjaga. (Namakamu) melirik sekilas name tag Panitia tersebut, Samudera Biru. Senyum kecil milik (Namakamu) terbit, namanya bagus.

"Kamu duduk dulu di sini," Biru mengarahkan (Namakamu) untuk duduk di atas rerumputan dan menyuruh gadis itu melepas kaos kaki dan sepatu kanannya. "MEDIS! MEDIS!" Biru berbicara melalui pengeras suara. Tak lama, seorang panitia dengan kotak P3K muncul sambil berlari dari arah arena sepeda.

(Namakamu) meringis saat lukanya dibersihkan. Ia membelak saat panitia itu menyiramkan cairan semacam betadine ke lukanya. (Namakamu) tidak memekik, namun matanya berkaca-kaca.

"Nggak sakit, 'kan?" Tanya si panitia yang mengobati lukanya. (Namakamu) menggeleng sambil tersenyum canggung. "Nanti kalau udah di tenda, lukanya ditutup pakai perban, ya."

April. [IDR]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang