07

4.4K 693 111
                                    

Keadaan jalan sangat padat. Dua jam mereka lewati untuk sampai ke Mall yang seharusnya hanya membuang waktu satu jam. Untung saja keduanya sudah booking tempat di sebuah restoran, kalau tidak, mungkin mereka akan makan satu jam setelah waktu berbuka puasa.

"Lo di Jakarta apa kabar?" Tanya Iqbaal tiba-tiba sambil menyuapkan sesendok nasi ke mulutnya.

"Kayak yang lo lihat."

"Biru, apa kabar?"

Pertanyaan itu membuat (Namakamu) bungkam sejenak. Perlahan gadis itu tersenyum kecil, lalu menjawab, "Dia juga baik. Keterima di UI lewat jalur SNMPTN."

Iqbaal terbelak, "Gila, jago banget cowok lo!"

"Iqbaal," Bisik (Namakamu) lemah. "Gue udah nggak sama Biru."

Iqbaal tersedak dan langsung meminum lemon tea-nya. "Lo—Biru, putus?"

(Namakamu) bergumam singkat. "Nggak udah di bahas. Gue nggak patah hati, kok."

"Bohong," Elak Iqbaal. "Siapa yang baik-baik saja saat kehilangan rumahnya, (Namakamu)? Gue yakin banget, lo bukan salah satunya."

Apa yang Iqbaal katakan memang benar. (Namakamu) tidak baik-baik saja. Kadang Ia masih ingin menarik Biru agar kembali bersamanya. Tapi (Namakamu) menghargai keputusan Biru. Jika apa yang dilakukannya tetap membuat keduanya menjadi sepasang teman, maka (Namakamu) akan menyanggupinya.

"Lo udah selesai makan?" (Namakamu) mengangguk saat Iqbaal bertanya demikian. Laki-laki itu beranjak untuk membayar makanan mereka, lalu menggandeng tangan (Namakamu) keluar dari restoran tersebut menuju mobil (Namakamu).

"Kok balik, Baal?" Tanya (Namakamu) heran saat Ia menyadari kemana Iqbaal membawanya.

"Gue tahu lo butuh tempat yang pas buat nangis. Dan restoran bukan jawaban yang tepat."

Setelah sampai di dalam mobil, Iqbaal hanya menyalakan mesin dan AC mobil tanpa menjalankan kendaraan beroda empat tersebut. (Namakamu) tersentak saat Iqbaal menggenggam tangannya, menyalurkan rasa tenang dengan mengusap punggung tangannya.

"Nangis yang puas, (Namakamu). Ada gue yang bakal dengerin semua keluh kesah lo."

Dan detik itu, tangisan yang (Namakamu) pendam sedari dulu pecah seketika. Semua rasa sakit, amarah, rasa tidak terima, menyerah, menyatu dalam tangisan pilu. (Namakamu) sebenarnya tidak suka dilihat orang lain saat menangis. Ia terbiasa menangis sendirian, dan (Namakamu) nyaman dengan hal itu.

Iqbaal melepas genggamannya, berganti menarik bahu (Namakamu) mendekat dan menyenderkan kepala gadis itu ke bahu tegapnya. Tangisan gadis itu terdengar sangat pilu di telinga Iqbaal. Benar-benar mencerminkan seseorang yang kehilangan sosok yang begitu Ia sayangi. Iqbaal pernah mendengar gadis lain menangis seperti ini. Dulu—ketika berpisah. Iqbaal memang kerap bertemu dengan hal menyedihkan bernama perpisahan, karena itu, Ia bahkan terbiasa tersenyum menanggapi perpisahan.

Seperti saat Ia harus meninggalkan sahabat dan kekasihnya di Amerika sana.

(Namakamu) mengusap kedua pipinya, mengatur napasnya yang tidak beraturan. "Jangan lihat, ya. Gue jelek."

Iqbaal terkekeh. Tak mendengarkan apa yang (Namakamu) katakan, laki-laki itu justru menangkup kedua pipi gadis di hadapannya dan membersihkan bekas air mata gadis itu dengan kedua jempolnya.

April. [IDR]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang