[430] Daster Batik Mamak

2.2K 568 68
                                    

DASTER BATIK MAMAK

Nurani baru pulang sekolah dan mendapati Mamaknya menapis beras hasil panen bulan lalu di teras rumah.

Mamaknya lagi-lagi mengenakan daster batik yang telah robek di beberapa bagian. Sedang di beberapa bagian lainnya sudah ditambal dengan kain yang berbeda jenis serta warna, sehingga warna daster batik Mamak jadi bervariasi.

Dengan hati gusar, Nurani menghampiri Mamaknya.

"Mak, Nur mau lanjut kuliah ke Ibukota. Nur mau jadi desainer," kata Nurani sekonyong-konyong.

Mamak yang sedang menyenandungkan lagu dangdut menoleh heran ke anaknya. "Apa itu desainer?"

"Perancang pakaian, Mak. Pembuat pakaian mahal dan bagus."

Mamak tertawa. "Oh penjahit? Ya sudah, kau pergilah berguru ke Saudah tetangga sebelah, dia pandai menjahit dan punya mesin jahit. Tak perlulah kuliah."

Nurani menggeleng tegas. "Bukan penjahit, Mak, tapi desainer. Nur mau jadi desainer jadi Nur harus kuliah."

Mamak Nurani masih mengernyit tidak mengerti, memang apa bedanya penjahit dan desainer. Kenapa pula anaknya itu ngotot mau kuliah, belajar menjahit ke tetangga sebelah kan bisa.

Nurani meringis kesal melihat Mamaknya yang malah terdiam. "Pokoknya Nur mau kuliah, Mak!" serunya.

Mamak terkejut mendengar nada tinggi dari Nurani, tidak biasanya anaknya seperti itu. Mamak hampir saja balik memarahi andai tidak ingat dengan darah tingginya.

Akhirnya dengan lembut Mamak berkata, "Nur, kalau kau kuliah ke Ibukota, yang bantu Mamak jualan nasi kuning setiap hari siapa? Mamak ini kan punya asam urat, mana kuat jalan keliling kampung. Adik-adik kau juga masih kecil, butuh makan. Biaya kuliah dan hidup di Ibukota mahal, Nur. Mamak mana sanggup?"

Nurani terdiam.

Benar. Apa yang dikatakan Mamak benar. Dan Nurani jadi kesal karena harus kalah oleh kenyataan.

Lirih, Nurani berujar putus asa. "Tapi Nur mau jadi desainer, Mak. Nur mau buatkan Mamak daster batik yang seribu kali lipat lebih baik."

Nurani hampir menangis. Sekelebat pengandaian memenuhi kepalanya, andai Bapaknya tidak meninggal karena kecelakaan kerja saat jadi tukang batu. Andai dia anak satu-satunya. Andai dia terlahir dari keluarga kaya raya.

Andai...

Seandainya...

"Begini saja," Mamak tiba-tiba berucap, tak kuasa melihat wajah sendu anaknya. "kalau kau mau kuliah, kau teleponlah Bapak Penguasa yang dulu berjanji mau mensejahterakan rakyat kecil macam kita. Kau tagihlah dia punya janji."

Mamak menyerahkan ponsel jadulnya yang dibeli sekitar dua tahun lalu. Casing-nya sudah lepas tapi disatukan dengan karet gelang. Begitu rongsok, beruntung masih berfungsi.

Nurani tersenyum semringah menerima ponsel itu. Dia hendak menelepon Bapak Penguasa tapi... berakhir kecewa kemudian.

Dia baru ingat Bapak Penguasa tidak punya nomor aktif yang bisa dihubungi sekarang. Hanya sekali dia bisa dihubungi, dulu...

...dulu sekali saat Bapak Penguasa mengemis suara rakyat di pemilihan umum.

E N D

430 kata.

sebentar lagi pesta demokrasi kan, ya?

BelantaraOn viuen les histories. Descobreix ara