04/04 || Singgasana

1K 259 23
                                    

SINGGASANA

Setelah menyaksikan calon raja kami saling adu retorika demi memperebutkan singgasana di balai istana, kami para warga diimbau agar pulang lalu segera tidur. Besok pagi-pagi rakyat harus kembali bekerja demi kesejahteraan kerajaan.

Tetapi tentu rakyat lebih tertarik untuk berkumpul membahas persaingan tadi daripada langsung pulang. Rasa-rasanya tidak afdal melelapkan diri sementara pikiran-pikiran belum mau lelap. Jadi para rakyat bergegas ke balai pertemuan rakyat yang banyak tersebar di dekat balai istana.

Saya sendiri pun ikut, tidak mau ketinggalan. Saya memilih ke balai utara istana, nama balainya adalah Kicau. Saya ingin tahu para rakyat akan membicarakan apa, biasanya mereka bercanda, bergunjing, mengkritik, dan lain-lain di Kicau. Selalu menyenangkan mendengar diskusi rakyat di sana.

Di bawah pencahayaan temaram dari pelita, saya mendengarkan rakyat berdiskusi dari sudut balai yang paling gelap, tidak memberi argumen dan hanya diam menyaksikan. Dari yang saya lihat, kebanyakan rakyat justru berdebat untuk menentukan siapa yang lebih baik untuk jadi Raja, Putra Mahkota-kah atau Putra dari salah seorang selir Raja.

Sebenarnya perkara ini akan mudah saja seandainya Raja kami langsung memberi tahtanya pada Putra Mahkota sebagaimana selama ini tradisi berlangsung, tapi Raja kami sepertinya sangat menyayangi Putra dari salah seorang selirnya, jadi ia mempersilakan sang Putra Selir untuk maju melawan Putra Mahkota melalui persaingan sehat, adu retorika untuk menjatuhkan dan saling memaparkan visi misi.

"Yang harusnya menjadi raja adalah Putra Selir, dia dari dulu baik dan sering mengunjungi rakyat. Putra Mahkota mana pernah begitu, dari dulu dia cuma bersikap pura-pura baik, muak kita dibohongi," ujar salah seorang rakyat.

"Enak saja," timpal rakyat yang lain, "dari pemaparan visi misi tadi, sudah jelas sekali Putra Mahkota lebih cerdas dan matang. Kita butuh raja yang cerdas mengelola kerajaan."

"Untuk apa cerdas kalau penipu!"

"Untuk apa kelihatan baik kalau bodoh!!"

Saya mulai merasa suasana tidak lagi kondusif di Kicau. Nada suara rakyat mulai meninggi. Seorang bapak-bapak di sudut kanan mulai berdiri, perempuan-perempuan tidak kalah nyaring beropini. Beberapa rakyat yang sebenarnya tidak tahu-menahu terlihat sok tahu dan ikut marah-marah tak jelas.

Saya yang tidak pernah suka kekacauan akhirnya memilih segera pulang saja, mengikuti titah kerajaan untuk lekas beristirahat. Di perjalanan pulang, saya bertemu dengan salah satu kawan lama saya, dia menyapa.

"Kau dari balai mana?" tanyanya.

"Kicau, kalau kau?"

"Balai Gambargram. Kondisi kacau jadi saya pulang. Kalau di Kicau bagaimana?"

Saya menggeleng prihatin. "Sama saja, kacau. Padahal mau mereka bertengkar sampai kiamat pun tidak ada gunanya."

Kawan saya tertawa. "Iya, lebih baik tidur, betul?"

Saya mengangguk setuju. "Kasian saya sama mereka."

"Kenapa?"

"Mereka bertengkar-tengkar sampai rugi sendiri padahal yang menentukan siapa yang jadi raja kan bukan mereka, tapi Raja dan jajaran menterinya."

Kawan saya kembali tertawa, dia menyahut, "Ya, menyedihkan."

E N D

04/04/19

BelantaraNơi câu chuyện tồn tại. Hãy khám phá bây giờ