[449] Namanya Hawwa

2.6K 531 119
                                    

NAMANYA HAWWA

"Pagi, Pak Abraham. Kopi?"

Itu adalah sapaan kesembilan dari Hawwa, mahasiswa tingkat akhir yang tiap kamis pagi sudah duduk di ruangan Ibu Jenny untuk konsultasi.

Aku selalu suka mendengarnya menyebut namaku, tidak disingkat menjadi Ham seperti mahasiswa lain, atau Ab seperti teman dekatku.

Jika sudah ditawari seperti itu, maka seperti delapan pertemuan sebelumnya aku akan jawab, "Boleh."

Setelah itu dia akan tersenyum ceria—hal kedua yang kusuka setelah caranya memanggil namaku—dan memberiku salah satu dari dua kopi yang dibawanya, yang hebatnya masih hangat.

Kami akan duduk selama setengah jam tanpa bicara sampai Ibu Jenny datang lalu aku sebagai asisten dosen Ibu Jenny akan berlalu ke kelas, mengajar.

Begitulah kegiatan kamis pagiku sejak dua bulan lalu. Sejak aku mengenal Hawwa.

Lalu entah sejak kapan aku mulai menanti-nanti kamis pagi. Bertanya-tanya kerudung warna apalagi yang dikenakan Hawwa. Atau apakah dia akan muncul dengan dua kopi lagi atau tidak. Aku mencoba menghapal senyumannya dan merekam semua intonasi suaranya yang merdu.

Dan sekarang, sudah kamis pagi lagi dimana seharusnya menjadi pertemuan kesepuluh kami, tapi aku tidak menemukan Hawwa.

Aku mengawasi pintu ruangan berharap menemukan senyum cerianya dan sapaan Pagi, Pak Abraham. Tapi sampai Ibu Jenny datang, Hawwa tidak juga muncul. Akhirnya aku berlalu ke kelas dengan perasaan... ganjil.

Namun, anehnya, Hawwa malah muncul malam ini, di acara pernikahan teman semasa SMA-ku yang rupanya adalah sepupunya.

"Malam, Pak Abraham."

Tidak perlu dipanggil dua kali, aku segera berbalik karena sangat mengenali sapaan itu.

Kudapati Hawwa tersenyum ceria dengan dua gelas minuman berwarna ungu gelap. "Jus anggur, Pak?" tawarnya.

Senyumku mengembang. "Boleh."

Jika biasanya kami hanya diam setelahnya, malam ini aku berinisiatif membuka percakapan. Basa-basi awalnya sampai aku sadar Hawwa ternyata teman bicara yang menyenangkan, apapun topiknya. Seperti saat ini, saat kami membahas pernikahan dini.

"Saya sama sekali tidak mempermasalahkan pernikahan dini, Pak. Lagian menurut saya, tidak ada hubungannya kerusakan rumah tangga dengan faktor usia. Semua tergantung kesiapan mental dan ilmu. Kan ada tuh, yang nikah di usia tua tapi ujung-ujungnya cerai juga, yang nikah muda malah langgeng-langgeng aja."

Itu katanya.

Apa aku sudah bilang? Hawwa kelihatan terlalu cantik jika berargumen seperti itu. Cantik yang beda, kelihatan cerdas dan tegas, tapi gurat-gurat kelembutan dalam suara dan caranya menatap membuatnya tampak bersahaja.

Senyumku tidak repot kusembunyikan. Kubiarkan Hawwa tahu bahwa aku senang dengan argumennya.

Melihat Hawwa membalas senyumku, mendadak aku teringat Ibu yang mulai sering menagih mantu di rumah.

"Jadi kalau dalam waktu dekat ada yang ngajak kamu nikah muda, mau?"

Hawwa tertawa, membuatku baru sadar ternyata dia memiliki lesung yang hanya ada di pipi kirinya. Manis.

"Ya enggaklah, Pak."

"Kenapa?"

"Saya sudah nikah."

E N D

449 kata.

BelantaraWhere stories live. Discover now