9. Sepertinya, Aku (Tidak) Bersama Orang yang Salah

Start from the beginning
                                    

"She's not? Why?" Timpal Bagas curiga, dan dia bisa mengerti mengapa adiknya bersikap demikian karena awalnya dia pun juga memiliki jalan pikir yang sama.

"Dia...nggak kayak orang biasa," balas Aksa seraya melirik ke arah Runaya yang mengamati mereka dari kejauhan dengan senyum polosnya.

"What do you mean? Maksudnya apa sih, Kak, ngomong yang jelas kenapa sih, Papa banget sumpah!"

"Kakak bilang apa, udah jangan banyak tanya kan? Bacot bener, nggak ada bedanya sama Mama."

"So, she's not suing us? Jangan-jangan dia udah jual beritanya, Kak?"

"She's not. Okay? Chill. Fuck, what do I say? No more questions, Gas, it's for your own good. I'm handling this. Awas sampe kamu freak out trus ngomong ke Papa. Kamu mau diship ke Vermont? Di sana cuman ada pohon sama rusa. Seneng kamu?"

"Kakak udah kasi dia uang?"

"No," jawabnya seketika. Kompensasi yang diberikan pada korban dalam kasus yang melibatkan mereka adalah bentuk nyata dari penegakan hukum yang disahkan oleh pengadilan, jadi sebenarnya praktek pemberian uang adalah hal yang lumrah bahkan diharuskan, tetapi entah mengapa dia jadi tersinggung dengan pertanyaan Bagas itu.

"Why not? Kak, you should!"

Aksa merapatkan bibirnya dan dia tidak menanggapi bisikan Bagas yang menganjurkannya untuk menangani hal ini dengan cara standard mereka. Aksa tidak bisa menjelaskan kenapa dia bersikap tidak mengikuti jalur seperti ini, yang dia tahu hanyalah Runaya tidak pantas diperlakukan seperti orang pada umumnya. Perempuan itu berhak mendapatkan lebih, dan dia akan memberikannya.

"Say you're sorry," perintahnya sesaat sebelum dia mendorong punggung Bagas agar adiknya itu mengikuti dirinya mendekati Runaya.

"Hah? No! Aduh, Kak, apaan sih, I can't!"

"Gas, you have to. Where's your fucking manners? It's the least you can do!"

Bagas menyengir tidak setuju, dan adiknya itu bersikukuh untuk mengunci mulutnya meski dia sudah memberikan tatapan mengancam.

"Ya udah, Kakak pergi dulu, jangan keluyuran," ucapnya mengalah, karena tidak mungkin dia dan Bagas melanjutkan silent war mereka sementara Runaya berdiam diri canggung menunggu mereka.

"Iya, iya, siapa yang mau pergi juga, dih." Bagas memutar kedua bola mata. "Ya udah Bagas masuk dulu. Permisi Kak Runaya, nice to see you again."

"Oh, iya."

Aksa meringis prihatin melihat gaya santai Bagas. Tidak ada penyesalan pada ekspresi adiknya itu, dan meski hal itu memang masih lebih baik daripada ketakutan yang akan menimbulkan kecurigaan, dia jadi malu sendiri melihatnya.

"Hmm... feels weird."

Celetukan Runaya sesaat setelah pintu lift menutup membuat Aksa seketika menolehkan kepalanya.

"What is?" Timpalnya cemas.

"Kayak gimana gitu kalau dipanggil Runaya, lengkap banget kayak lagi nunggu antrian ktp aja," tutur perempuan itu di luar dugaan. "Saya nggak pernah dipanggil Runaya sejak... sejak kapan ya? SMP deh kayaknya. Soalnya pas itu masih sekolah baru, beda sama SD nya. Di SMA semua udah selalu Naya aja gitu. Apalagi di sini, spelling nya Indo banget, ribet deh kalau pake versi lengkapnya."

Aksa tertegun konyol. Dia sudah mengira Runaya akan bersuara mengenai Bagas dan insiden yang melibatkan mereka, tetapi perempuan itu justru membagi anekdot mengenai dirinya sendiri. Reflek tawa Aksa teraktifkan begitu dia melihat mata Runaya berbinar dengan antisipasi akan reaksi darinya.

Sepertinya, Cinta (UPDATE SUNDAYS)Where stories live. Discover now