Halaman Empat Puluh Lima.

1.2K 326 31
                                    

26 Agustus 2015,
Musim Panas; Seoul.

Ada banyak kekhawatiran yang mengikatku kuat-kuat, tiap kali aku berusaha mengumpulkan keberanianku untuk mengulangi ini sekali lagi. Ketakutan, rasa rindu, kehilangan, dan semua perasaan belenggu yang memaksaku untuk datang, sementara sebagian diriku yang lain meminta untuk tidak pernah kembali.

Aku mencoba menerka, dengan harapan tak ada rasa benci dalam diriku untuk kembali pada seorang wanita yang membuatku lahir ke dunia.

Sejauh yang bisa kuingat, ibuku adalah orang yang penuh kehangatan. Ia baik pada semua orang, ia selalu tersenyum ramah, ia menyukai bunga akasia, ia pandai memasak, ia menyukai langit petang di sore hari, dan tak bisa membenci apapunㅡkecuali aku.

Dulu, sewaktu kecil ibuku sering menceritakan banyak dongeng pengantar tidur. Tentang semut dan gajah, tentang kura-kura dan kelinci, tentang kuncup bunga tulip, dan tentang ibu tupai yang memilih mati untuk menyelamatkan bayi tupainya.

Terkadang aku menebak-nebak. Jika aku tak pernah ada, mungkin ibuku akan terus melanjutkan hidupnya, mungkin ibuku tak pernah kehilangan senyumnya. Mungkin ibuku tak pernah kehilangan ayahku, atau mungkin saja ibuku sedang membuat masakan hebat dan menjadi seorang koki ternama.

Di balik pintu kaca ini, aku bisa melihat ibuku yang muram. Ibuku yang kehilangan semestanya. Tak ada cahaya di mata ibuku. Ibuku yang sinarnya meredup karenaku.

Aku masih bisa mengerti alasannya membenciku. Alasannya tak ingin mengucapkan sepatah kata pun ketika kedua matanya beradu dengan mata milikku.

Sungguh, aku masih berusaha mengerti.

Aku ingin membuat satu kesempatan yang tak akan kuulangi. Satu hari yang tak akan terlewati. Aku tak ingin menyesali diriku dan ketakutanku untuk memaafkan masa laluku.

Aku tak ingin lari lebih jauh lagi. Aku tak ingin bersembunyi lebih dalam lagi. Untuk sekali saja, aku akan memeluk ibuku. Aku ingin menepati janji.

"W-woojin? Park Woojin?"

Ketika suaranya menggema di balik dinding, seluruh rasa takutku datang.

"Woojin? Bayi kecil ibu?"

Ketika kali kedua suaranya mengudara, seluruh ketakutanku meluruh.

"Kau sudah dewasa, kau jauh lebih tinggi sekarang. T-tampan."

Ketika ibuku memeluk bunga akasia kuning pemberianku, rasa rinduku seolah memenuhi ruang kecil berdinding dingin itu.

"Ibu rindu, ibu merindukan Woojin kecil ibu."

Ketika ibuku memelukku, aku memaafkan diriku. Semua penyesalan, masa kecilku yang segelap malam seolah menemukan titik terangnya.

"Ibu rindu sekali."

Untuk kali pertama, aku menangis sekeras-kerasnya di hadapan ibuku. Seluruh beban yang mengungkungku selama bermusim-musim rasanya menghilang dalam pelukan hangatnya. Rindu yang mendalam, rasa bersalah, dan diriku yang telah kubunuh tiga belas tahun lalu.

Untuk kali pertama, Park Woojin mencintai dirinya, dan untuk kali pertama, seorang Park Woojin kehilangan rasa sakitnya.

Aku tak tahu apa yang Jihoon katakan pada ibuku, tetapi yang kutahu, aku hanya ingin menemuinya dan berterima kasih padanya, ribuan kali.

45; surainya segelap eboni.

Jurnal Woojin; Tentang Jihoon✔Where stories live. Discover now