eleven

104 16 18
                                    

"Shasha!"

Tatapanku teralih menatap pintu, suara Dad sangat kencang sekali. Ada apa ya?

Aku menghela nafas, dan menyimpan majalah di tempat tidurku. Aku beranjak dari duduk ditempat tidurku, membenarkan celana pendekku. Gerakkanku terhenti saat melihat layar handphoneku menyala tanpa suara.

Memang sengaja, aku men-silent kan handphoneku. Karna aku tau, bakal banyak yang membuat handphoneku ramai. Penggemar Justin Bieber. Tentu saja. Aku tau, tanpa aku melihat pun aku bisa menyadari bahwa foto fotoku yang diambil paparazzi itu sudah ada di sosial media.

Aku bergidik membayangkan apa yang akan aku baca dari tanggapan penggemar dia. Ah, ini mimpi indah sekaligus mimpi buruk. Aku mendesah lalu mengambil handphoneku.

Melihat handphoneku dengan bingung, karna ini nomer asing yang tak aku kenal.

Tanpa pikir panjang aku mengangkatnya, dan berjalan kearah pintu untuk kelua karna tadi Dad memanggilku. Aku tak mengatakan apa apa, karna sejujurnya ada sedikit rasa takut karna ada yang menelponku.

Telingaku mendengar ada yang seperti menghela nafas disana. Dengan keberanianku, aku melipat bibirku lalu,

"Apa ada orang disana?"

Tak ada jawabannya. Aku berdecak, menyebalkan sekali.

Tanganku yang kosong membuka pintu kamarku lalu keluar tanpa menutup pintunya kembali. Aku menatap kedepan dengan mengigit bibirku.

Dia siapa sebenarnya? Jantungku mulai berdetak tak karuan. Apakah ini seseorang yang akan menculikku? Oh! Atau seseorang yang akan menerorku setiap hari karna berdekatan dengan artis terkenal?! Astaga. Tolong hambamu itu.

"Mengapa tak ada suara? Hei!" Ucapku dengan kesal.

Aku menurunkan tangga dengan kesal. Bahkan sangat kesal. Aku menatap mama dan kaka yang sedang di kursi keluarga dengan menatapku. Tatapannya langsung bingung.

"Kalau kau tak bersuara, aku akan menutup telponnya dengan hitungan tiga." Ucapku mengancamnya.

Orang disana hanya mendengus tanpa mengeluarkan suara. Astaga, siapa sebenernya yang menelpo diriku!?

Aku melihat kaka menggerakkan bibirnya, dan itu terlihat menanyakan siapa yang menelponku. Lihat, dia sedang marah padaku tapi dia selalu ingin tahu. Dia memang menyayangiku.

"Tiga," aku mulai menghitung mundur.

Orang yang menelponnya benar benar menakutkan.

"Dua,"

Aku menghempaskan bokongku dengan kesal ke sofa. Dan sengaja aku duduk disebelah kaka.

"Satu,"

Tapi masih tak ada suaranya.

Dengan cepat aku berucap, "Bye, aku akan mematikan telponnya."

"Hei, jangan!"

Tubuhku reflek menegak. Sial. Tuhan. Astaga.

"Justin?" Bisikku.

Dan aku perlahan menatap mama yang berada dihadapanku. Dan aku baru ingat kalau disebelahku adalah kaka. Dengan cepat aku menatap kaka, dan wajah kaka langsung kaku. Menatapku dengan tatapan dingin. Lalu membuang muka.

Ah, tuhan.

"Ya, ini aku. Maafkan aku. Aku hanya memastikan kau tidak apa apa. Karna aku men-dm mu di instagram, dan kau tidak membalasnya. Lalu aku meminta scooter untuk meminta nomermu ke daddymu, dan aku mengirim pesan padamu, dan kau tetap tak membalasnya. Dan aku menelponmu. Aku sudah menelponmu ke tiga kalinya tapi kau tak mengangkatnya. Lalu ini yang kau angkat, kau darimana saja?"

devenu réalité - JbWhere stories live. Discover now