nine

173 18 37
                                    

"Ah, sial!"

Aku terkejut, dan tubuhku seketika melayang ke bawah. Aku meringis, merasakan rasa sakit di bokongku, aku mendongak menatapnya dan Justin menatapku dengan tatapan dingin khasnya. Ada apa dengannya?

"Justin, ada-"

Justin beranjak dengan cepat dari hadapanku. Pergi begitu saja. Aku mengernyit, ada apa? Apa ada yang salah?

Aku menggigit bibir dalamku, ah ya tuhan, bokongku sakit sekali. Aku menghela nafas, dan berdiri dengan perlahan. Aku menatap Elis yang menatapku dengan tatapan terkejut. Menyebalkan, bukannya menolongiku.

"Elis, kau tahu Justin kenapa?"

Elis menggeleng geleng, "ak- Ah! Mungkin saja dia sadar apa yang baru saja dia lakukan padamu, bercanda mungkin? Dia 'kan seharusnya marah padamu, Sha."

Aku menatapnya lalu menunduk, meresapi perkataan Elis. Benar juga. Aku menghembuskan nafasku, tapi aku senang Justin tadi seperti itu padaku. Kapan lagi 'kan? Aku tersenyum tipis.

"Sha, jangan tersenyum bodoh seperti itu, kita ke ruang make up, kau harus dibenarkan, lihat rambutmu." Elis tertawa.

Aku memegang rambutku, ada memangnya?

Memang ya, ini semua gara gara Justin, untuk aku cinta. Eh. Ups. Aku berjalan kearah ruang make up bersama Elis, dengan tanganku yang terus memegangi rambut. Rambutku sangatlah kusut, ah, pasti sakit nanti kalau disisir.

Aku menatap meja rias, dengan cepat aku duduk disana, dan melihat diriku di kaca. Seketika mataku membulat, gila, aku seperti terkena serangan listrik. Untung saja mukaku tak hitam hitam. Aku menatap perempuan yang memegang rambut, aku menatapnya lewat kaca lalu tersenyum. Aku malas menanyakan namanya.

"Elis, aku akan pakai baju apa lagi?"

Aku menatap Elis lewat kaca, Elis menatapku lalu berjalan kearah baju baju yang tergantung. Aku menatap wajahku lagi, tanganku memegang megang bulu mataku dengan gemas. Kakiku perlahan menekuk dengan kaki yang naik di kursi. Ini lebih nyaman.

"Elis, aku ingin coklat."

Aku memberengut, mulutku rasanya ingin ngemil.

"Yasudah, aku ke supermarket terdekat dulu." Ucapnya,

Sebelum dia benar benar pergi, aku memanggilnya,

"Aku pakai baju apa, Elis?"

Elis terlihat menghela nafas, lalu dagunya mengangkat menunjuk kearah sofa.

Aku berbalik menatap baju itu, yang membuat penata rambut berhenti memainkan rambutku. Aku mengangguk angguk lalu kembali lagi ke posisiku. Aku melipat bibirku lalu mengecapnya, menggigitnya dan berhenti. Ah aku bosan.

Huh, bagaimana saat aku photoshoot sama Justin ya? Uh, aku yakin, pasti jantungku berdetak detak kembali dengan cepat. Aku menekuk bibirku. By the way, tadi pelukannya sangatlah hangat. Idolaku memang benar benar ahli disegala bidang, apalagi ahli membuatku tersipu, ah tuhan, aku tersenyum membayangkan aku menangis dipangkuannya tadi.

Mimpiku benar benar kenyataan.

Terimakasih papa.

Tapi, Justin masih marah padaku. Aku menghembuskan nafasku dengan kecewa. Tadi sikap nya benar benar berubah terus berubah lagi kesemula. Coba saja, Justin tidak seperti, pasti berwarna setiap hari.

Tubuhku seketika terdorong pelan, aku mendongak, melihat siapa yang menyenggolku dengan tangan itu. Mataku terpaku, melihat Justin yang memakai kemeja tidak dikancing, dan celana jeans. Aku menelan ludah dan detik itu aku memalingkan wajahku. Tidak, tidak. Shasha, kau tak boleh melihatnya seperti itu, nanti dia kepedean.

devenu réalité - JbWhere stories live. Discover now