enambelas-final

5.9K 577 552
                                    

          
Arsen

Gue lupa tepatnya kapan, tapi gue masih ingat dengan jelas rasanya jogging jam lima pagi di pesisir pantai Ayana Resort. Waktu itu, selepas menunaikan ibadah wajib, gue lekas pakai sepatu dan keluar. Lari dari ujung ke ujung, sengaja menyapa pagi sampai akhirnya beristirahat, duduk berselonjor kaki sambil menghadap laut. Sengaja istirahat disitu karena kabarnya setiap pagi, sunrise yang disuguhkan Ayana ini sangat cantik. Jadilah gue berdiam diri disana, sekalian meditasi lengkap sama udara pagi yang sejuk, pemandangan tenang yang belum dicemari wisatawan, dan guratan indah yang mulai mewarnai cakrawala. 

Awalnya ungu tua, berubah ke jingga lalu kuning sampai bulatan matahari itu menampakkan wujudnya setelah semalaman penuh menghilang untuk menyinari belahan dunia yang lain dan gantian jam kerja sama bulan.

Cantik. Memang satu kata ini lah yang pas untuk menggambarkan sunrise pagi itu. Mungkin banyak faktor yang mendukung, tapi gue yakin setelanjang ini pun matahari terbit di Ayana sudah sempurna. Hadirnya, warnanya, sebuah simbol bahwa hari baru sudah datang bersama banyak harapan.

Puitis bukan? Begitu lah jadinya kalau kau ini terlatih mengapresiasi hal sekecil apapun dalam hidup. Nah, jadi teringat si Petra dengan segala logat Medan kentalnya, ya? Tapi nggak usah jauh-jauh lah pakai ingat si gendeng Petra. Dia nggak ada urusannya sama kecantikan sunrise apalagi Anindya.

My Anindya, yang cantiknya nggak kalah sama sunrise di ufuk Timur setiap pagi. Bedanya mungkin kalau matahari mulai menampakkan cahayanya, kalau Anindya pagi-pagi semakin membungkus diri dibalik selimut sampai yang terlihat cuma ujung kepala dan mata yang masih menutup rapat.

Si pemalas, itu sebutan gue untuk Anindya setiap pagi. Dia susah diajak jogging, sekalinya mau ikut pun jadinya salah kostum malah pakai baju mantai, yeah you know that short as fuck bikinis and a see through outer. Dia lantas menggelar kain, duduk diatasnya lalu memotret pemandangan sebanyak mungkin pakai kamera gue yang dia pinjam.

"What? At least I'm not sleeping. I'm outing right now, and thanks to you." Katanya saat gue mengecak pinggang dan sepenuhnya menghadap serta mempertanyakan apakah dia niat atau nggak bangun pagi untuk olahraga, bukan untuk menggoda banyak pasang mata.

Tapi stu yang keren dari Anindya adalah dia nggak peduli sama apa kata orang.

"Wait for me here. Jangan kemana-mana."

"Yes, sir. And could you please stop lifting up your shirt? It's disturbing, yet dangerous."

"Girls like it that way."

"Oh, I see." Katanya, "But your GIRL doesn't."

Memacari Anindya berarti harus siap mendapatkan banyak perlakuan 3S yang sering gue bilang. Sweet, sassy and savage. Di balik senyum manisnya kadang ada banyak arti yang nggak bisa gue pecahkan hanya dalam kurun waktu satu menit. Artinya bisa hey there my love atau quit it i hate you. Atau juga bisa dua arti dalam waktu yang bersamaan. Tapi nggak apa, lah, gue tetap cinta, kok. Walau kadang kelimpungan dan seringkali dibuat kalah telak.

"Hey sayang, what a lovely guests you have here." Anin tiba-tiba datang, lalu duduk dipangkuan gue yang sedang ketemu teman-teman lama saat itu. Salahnya, memang ada beberapa perempuan. Fatalnya, dua dari mereka memang sedikit flirty.

World war III, Anindya has zero toleration.

"Could you please introduce me to your friends right here, Arsen?"

Gue menelan ludah, bukan karena takut. Tapi justru luluh dibawah dominasi Anindya yang dengan senyum cantiknya itu mampu membunuh gue secara perlahan. 

wonderwallTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang