sepuluh

4.1K 594 541
                                    

Anindya

"I wish we could be stranger again."

Hujan sedang mengguyur Jakarta hari ini. Bawaannya sedari pagi waktu pertama buka mata saja sudah malas dan sendu. Sekarang, saat baru saja menginjakkan kaki di kantor, aku ditakdirkan untuk menemukan secarik kertas bertuliskan sebuah harapan yang ditulis langsung oleh tangan. Aku mengenali tulisannya, ini dari Arsen.

Ada sampai satu jam sebelum meeting bersama investor aku habiskan dengan berdiam diri pantry. Disana sudah terjamin nggak bakal ada satu orang pun kecuali Aden yang masuk dan menemukan aku sedang melamun ria menghadap jendela besar, menatapi gedung-gedung pencakar langit dan kemacetan Jakarta di jalan sana.

"Eh, mbak, maaf saya ganggu ya."

"Nggak apa-apa, Den. Saya nebeng sebentar ya, lagi hafalin materi buat meeting. Kalo ada yang nanyain saya dimana, bilang aja nggak tau."

Aku sering menghindar, bukan cuma dari Arsen tapi juga dari Danny yang seringkali aku jadikan sasaran empuk untuk menjauh dari rekan kerja seruanganku yang itu. Lucu ya, semuanya jadi tampak semakin rumit sekarang. Ditambah lagi materi presentasi yang menuntut untuk dikuasi sebelum nanti mati kutu di meeting investor ini juga menambah beban seorang Anindya Mettasha, yang hampir seluruh kepalanya diisi oleh apa maksud tulisan Arsen sampai pertemuan kami di lift.

Tadi aku setengah berlari, rambutku agak basah sedikit. Sial memang karena payung yang biasanya aku simpan di mobil, pagi tadi hilang begitu saja. Jadi terpaksa, bersama heels ini aku loncat-loncat menghindari kubangan dari aspal yang agak bolong di parkiran sana. Untungnya hari ini aku lagi pakai celana, bukan rok pendek selutut yang membuat agak ribet ketika lari-lari begini.

Sebuah tangan menahan pintu lift-nya sebelum tertutup rapat. Itu Arsen, mempersilakan aku masuk lalu membiarkan pintunya tertutup. Sedetik kemudian dia menekan tombol lantai tempat kami bekerja. Lalu bersandar ke dinding yang agak jauh dari tempatku berdiri. Sesekali mata kami bertemu, lalu saling menghindar lagi. Begitu terus sampai akhirnya Arsen memulai lebih dulu.

"Anindya, aku tau ini sangat telat. Tapi boleh aku tau kabar kamu, Nin? Are you okay, or not? I need to know. Please tell me something." Denting suara lift menandakan kami sudah sampai di lantai empat, tepat di kantor kami. Aku bisa dengan sangat jelas mendengar helaan nafas berat dari laki-laki yang sedang ada bersamaku itu. Tapi bodohnya aku memilih pergi. Aku meninggalkan Arsen lagi-lagi tanpa jawaban pasti.

Ini abstrak. Perasaanku terlalu bercampur sampai aku sendiri pun nggak tahu sebenarnya apa yang sedang aku rasakan. Masih ada rasa kecewa, masih ada sedih, bingung sampai takut pun bercampur semua. Jadi tolong maafkan Anindya yang sedang galau ini. Tolong maafkan Anindya yang membangun tembok besar diantara kita ini, Arsen.

Aku senang, aku bahagia bertemu Arsen lagi. Lagipula siapa juga yang nggak berbahagia kalau seseorang yang ditunggu sejak lama akhirnya kembali, kan? Tapi ada perasaan aneh ini yang menahan kebahagianku. Ada perasaan takut akan dikecewakan dan dibuat sedih lagi kalau aku menerima dia kembali sepenuhnya.

Mungkin kata orang, everybody deserves a second chance. Aku, Arsen, atau siapapun diluar sana berhak diberi kesempatan kedua. Tapi sebagai yang pernah dikecewakan, aku masih takut dan belum sepenuhnya pulih dari kesedihan delapan bulan yang lalu.

"Anindya, I'm home." Malam itu Arsen baru pulang kerja sekitar jam sembilan malam. Dia memang sering pulang ke apartmenku. Tempat itu memang sudah jadi rumah untuk kami berdua, apalagi setelah pulang berlibur dari New York, aku dan Arsen jadi sangat sulit dipisahkan sampai kami memutuskan untuk tinggal bersama.

wonderwallWhere stories live. Discover now