prologue, satu

11.4K 874 197
                                    

Arsen

New York selalu punya daya tariknya tersendiri. Baik itu bagi gue, atau sekian banyak New Yorkers lainnya, dan tentu juga untuk ribuan bahkan jutaan turis yang datang kesini dengan berbagai alasan. Ada yang sekedar berlibur, atau juga ada turis kacung yang datang karena tuntutan pekerjaan.

Yang terakhir itu mungkin gue. Dulu memang sempat jadi New Yorkers, sekitar dua belas tahun yang lalu, tapi sekarang kembali kesini sebagai turis yang jadi kacung.

Iya, gue kerja disini.

Walaupun mungkin kehadiran gue disini berbeda dengan yang sebelumnya. Tapi feel mendengarkan New York, New york nya Frank Sinatra masih sama seperti dulu. Masih indah, dan masih membahagiakan.

Haha, iya, ini gue Arsen yang banyak bicara tentang musik di sosial medianya. Menjabarkan sebenarnya musik yang enak didengar atau nggak itu yang seperti apa. Tapi ujungnya, selera gue ini mentoknya di Frank Sinatra, man. Sori ya. Habisnya ya enak sih, setiap kali sengaja memutar lagu New York, New York, semuanya jadi nggak sia-sia. Apalagi gue sedang di New York. Memulai cerita baru dengan berbaur lagi bersama para pejalan cepat anti leyeh-leyeh, terus kerja sampai ungodly hours, nggak akan merasa kesepian karena ya ini New York, kota yang memang nggak pernah tidur.

Lucunya, kadang gue juga ikut nggak tidur bukan karena kerjaan belum selesai aja. Tapi karena di malam hari lah gue ini kembali jadi budak cinta, sambil terlentang di kasur yang dulunya pernah diisi seseorang lain.

Dia cantik, dan gue suka punya yang cantik semacam dia di kota yang cantik juga seperti New York.

Gue mencintai New York sebagaimana dulu kota ini pernah ngasih banyak kenangan manis yang sialnya sering terputar dengan jelas di kepala tanpa minta ijin dulu seperti: 'Bang, maaf saya mau kasih flashback, kali-kali abang mau diingatkan kalau abang itu tolol.'

Gue rindu Anindya. Gue merindukan kehadiran dia disini, ditempat tidur, di dapur, di ruang tivi, di jalanan, di manapun pokoknya di setiap penjuru kota New York.

Dan si kenangan, malam ini, kurang ajar lagi tiba-tiba datang membawa satu bagian yang paling enggan gue ingat-ingat sampai sekarang.

Tangisnya, gurat sedih dan marah yang tergambar jelas di wajah cantiknya Anindya itu berpadu memilukan dengan suaranya yang mulai nggak bisa gue cerna karena gue saat itu sedang jadi orang paling brengsek.

"Pergi kamu, Arsen." Dengan ini gue kembali sadar dan yang bisa gue lakukan cuma menatap dia yang sedang sakit hati, menangis dan membanting pintu kamar di apartmennya.

Aku udah pergi, Nin. Aku udah jauh, tapi bayangan kamu surprisingly masih ada sama aku disini. Dan itu sudah cukup buat aku ngerasa sangat bodoh karena ninggalin kamu di Jakarta. Sendirian. Belum lagi aku yang keparat kata kamu ini dengan jahatnya ngasih rasa sakit yang nggak akan pernah bisa kamu maafin, ya, Nin?

Sekarang ini, yang bisa gue lakukan cuma terlentang ditempat tidur. Melamun, membayangkan satu hal yang mungkin terjadi kalau gue nggak se-nggak punya otak itu dulu.

"Anindya, marry me."

"I will, Arsen."

wonderwallWhere stories live. Discover now