tujuh

4.1K 555 474
                                    

Arsen

New York memang nggak pernah tidur. Atau mungkin New Yorker pun tidak pernah tidur. Terbukti, malam ini pukul setengah dua dini hari gue masih mendengar suara musik melantun kencang dari kamar apartment sebelah. Mungkin si penghuni, yang gue tahu namanya Kyle, laki-laki asli New York, sedang berpesta bersama teman-temannya.

Gue sebagai korban keberisikan jadi sulit tidur. Tapi nggak bisa dipungkiri, gue suka berada diantara yang berisik-berisik seperti ini. Atau simple-nya, gue suka berada di New York yang katanya nggak pernah tidur. Disini gue nggak pernah merasa sepi, gue nggak pernah merasa sendiri karena ada aja satu, dua atau banyak orang diluar sana yang membantu gue untuk mengalihkan pikiran ini biar nggak melulu memikirkan nasib dan sedih yang sedang dirasa.

Dulu Anindya pernah bilang, kalau suatu saat gue nggak ada lagi buat dia, dia bakal pindah kesini, ke New York. Dia mau membisukan pikiran, mau menyadap si monolog tentang gue biar nggak memenuhi rongga pikirnya lagi pakai berisiknya New York.

Sayang, yang perlu kamu tau, aku udah delapan bulan penuh disini dan nggak ada satu waktupun aku berhasil mengusir kamu dari dalam kepala aku ini. Ternyata New York nggak begitu hebat dijadikan teman untuk melupakan, Nin. Buktinya aku, masih kepikiran kamu, dan bahkan masih ingat semua yang pernah kita lakukan disini.

"Jadi, gimana kalo kita datang ke party ini? Besok minggu juga, kita bisa istirahat seharian kalo capek."

Kurang lebih satu tahun yang lalu, Anindya dengan rok mini terusan berwarna peach-nya pernah menarik perhatian hampir setengah dari para tamu undangan party gelaran kerabat dekat kami di New York.

Gue masih ingat gimana seorang laki-laki bule yang sedang mabuk menatap Anindya sampai mulutnya menganga lebar. Iya gue tahu dia sexy, tapi gue nggak pernah suka berbagi.

"Kamu diliatin banyak orang disini, Nin." Gue berbisik ke telinganya karena musiknya terlalu kencang. Harus diakui, gue mungkin memang nggak cocok sama party begini.

"Terus kenapa? They have eyes though, sayang. Ya pasti mereka liat."

Gue menghela nafas panjang. Anindya ini kadang antara polos dan terlalu pintar. Dia nggak tahu kalau gue mati-matian nahan diri buat nggak nonjok salah satu dari mereka yang mungkin lagi kepikiran macem-macem hanya dengan melihat sosok Anindya.

Man, gue nggak sebodoh itu kali. Gue pun kalau jadi orang asing terus lihat Anin pasti langsung lemah selemah-lemahnya.

"Pulang sekarang." Dengan ini gue menarik tangan Anin. Tanpa pamit gue dan dia langsung pergi dari situ. Gue nggak mengindahkan kesalnya Anin juga. Karena yang gue lakukan itu bukan semena-mena karena gue nggak bisa berbagi, tapi juga karena gue mau menjaga dia dari hal buruk yang mungkin aja terjadi.

Anindya kadang nggak bisa mengerti cara gue ini. Dan inilah kenapa gue dan dia sering kali nggak sejalan dalam beberapa hal. Termasuk yang paling terakhir terjadi, yang akhirnya membawa kita kesini. Ke perpisahan ini. Gue di New York, dia di Jakarta. Terpisah. Bukan cuma karena jarak, tapi karena ikatan diantara kami berdua pun ikut putus.

Ada banyak hal yang gue sesali di dunia ini. Dan meninggalkan Anin itu salah satunya. Tapi disisi lain, ada kesempatan yang nggak akan datang dua kali. Gue mungkin brengsek dimata orang lain yang menilai hanya dari sisi cerita cintanya saja. Karena ya sudah jelas, gue nggak bisa mempertahankan cinta gue. Tapi percayalah, gue berusaha. Walaupun pada akhirnya, manusia itu memang ditakdirkan cuma sampai usaha. Selebihnya ya Tuhan yang menentukan.

Kebetulan, untuk cerita gue ini, Tuhan memilih untuk memisahkan.

Manusia emang kecil kali ya. Sebesar apapun, atau sehebat apapun kalau kata Tuhan jalannya harus begitu ya begitu. Gue contohnya. Setelah harus terpisah dari Anin. Kali ini gue dapat masalah lain. Pertama Alyssa. Man, gue nggak tahu harus gimana caranya menjelaskan siapa ini Alyssa. Karena pada dasarnya, dia ini sama statusnya seperti tiga perempuan lain yang pernah punya hubungan singkat sama gue disini. You call this one night stand. Tapi gue nggak pernah tega buat menyebut hubungan ini dengan istilah itu. Walau memang kenyataannya memang sesingkat satu malam, lalu kelar.

wonderwallWhere stories live. Discover now