Chapter 5

6.6K 323 7
                                    

"Hei! Siapa yang sakit?!" protesku marah karena sudah sangat jengkel dengan sikapnya yang selalu seenaknya.

Pintu balkon di sebrang sudah di tutup, sekarang lampunya bahkan sudah mati. Mengkuti hal yang sama aku menutup pintu balkon dengan jengkel, kemudian kembali melangkah ke arah ranjangku. Entah berapa banyak dosa yang telah aku perbuat saat bertemu dengan Damian, dia sudah membuatku melewati semua batasan-batasanku sebagai seorang muslimah.

Dulu tidak pernah berani aku berteriak, bahkan sekadar untuk menatap yang bukan mahram. Tapi dengan Damian, semua batasan-batasan itu sudah di hancurkan. Kepalaku menunduk, meratapi semua kesalahan yang sudah aku lakukan, bukan tanpa alasan aku melewati semua batasan, tapi aku hanya ingin menegurnya. Namun, sepertinya pria itu memang keras kepala, dia tidak akan bisa di tegur memakai cara yang halus.

Ting Tong Ting Tong

Bel rumah berbunyi. Pandanganku beralih melihat jam ding ding yang sudah menunjukan pukul 21.45 WIB.

"Siapa yang bertamu malam-malam seperti ini," tanyaku lebih pada diri sendiri.

Karena penasaran dengan ketuk pintu, membuatku memilih untuk menghampiri ruang tamu. Tanganku sudah memegang kenop pintu, rasa ragu mulai menyerangku untuk membuka pintu di hadapanku kini.

Rasa ragu itu muncul, karena sudah beberapa kali aku mendapat kejadian mengerikan pada malam hari. Seperti kejadian saat aku di jual oleh sahabatku sendiri. Sampai sekarang kejadian itu masih membuatku sangat trauma. Aku juga tak bisa memungkiri sangat berterimakasih pada pertolongan Damian waktu itu.

Setidaknya dia punya satu tindakan mulia padaku.

"Bismillah," ucapku menguatkan hati bahwa Allah akan selalu melindungiku.

Pintu rumahku perlahan terbuka, memunculkan seorang gadis berambut pirang dengan jas putih yang membalut kemeja hitamnya. Keningku berkerut merasa tidak asing dengan gadis di hadapanku ini.

"Hai!" sapanya melambaikan tangan dengan riang. "Kamu masih ingat denganku?" tanyanya menunjuk-nunjuk ke wajahnya.

"Maaf, aku mungkin melupakannya," balasku tidak enak hati, karena memang sama sekali aku tidak mengingat namanya, walau wajahnya tidak terasa asing di ingatanku.

Pintu rumahku terbuka lebar, membiarkan ia masuk. Wajahnya terlihat lesuh mungkin karena aku yang tidak mengingat namanya.

"Masuklah!" pintaku menunduk sopan.

Dengan langkah anggun ia mengikuti perintahku, lalu duduk di shofa yang berada di ruang tamu. Perhatiannya mengedar ke seluruh rumahku, wajahnya kembali riang melihat rumahku yang memang banyak sekali dengan vot bunga kecil atau besar.

"Apa itu bunga imitasi?" tanyanya semangat ke arahku, menunjuk salah satu pot bunga yang berada di pojok dinding.

"Iya, kamu menyukainya?" tanyaku ramah. Kepalanya memangut-mangut menjawab pertanyaanku

"Suka sekali, bunga-bunga itu sangat terlihat asli sekali. Sepertinya kamu suka dengan bunga, yah?" tebaknya menaikan sebelah ali kemudian terkekeh.

"Begitulah. Emzz, ngomong-ngomong, kamu ini siapa, yah?" tanyaku masih penasaran dengan nama gadis di depanku ini.

"Owh, aku Violet. Biasa di panggil Fia Atau Vio terserahmu saja. Kita juga pernah berkenalan di terminal bis. Kamu ingat? " katanya mencoba mengingatkanku pada terminal bis.

Seketika wajahku langsung berubah muram, kejadian itu masih teringat jelas di ingatanku. Saat dimana aku dan Damian pertama kali bertemu, karena dia salah mengenali orang hingga malah membawaku bertemu dengan ibunya. Tentu dengan sikapnya yang sangat memaksa.

Azzahra & DamianKde žijí příběhy. Začni objevovat