Hide and Run

111K 15.5K 589
                                    

Dulu ketika umurnya baru 7 tahun, Gadis pernah sangat marah karena baju pilihannya tidak boleh dipakai di acara ulang tahun Opa dan Oma yang ke-59. Padahal Gadis suka sekali dengan celana jeans tiga perempat dan blus putih berbahan sutera dengan bordiran tulisan "Louvre" oleh-oleh dari Oom Ari, adik papanya yang tinggal di Paris. Kata Jingga, baju itu terlalu tomboi dan nggak serasi dengan gaun warna peach yang dikenakannya. Kalau foto keluarga pasti jadinya nggak bagus!, begitu katanya.

Gara-gara Jingga terus-terusan protes, Mama akhirnya menyuruh Gadis ganti baju dengan dress berwarna putih yang cantik seperti peri. Dress yang sangat disukai oleh Jingga tapi dibenci oleh Gadis. Gelegak dalam diri Gadis saat itu terasa begitu primordial. Perasaannya adalah teramat sedih dan juga teramat marah, sehingga dia merasa begitu putus asa.

Lalu belasan tahun kemudian, saat Gadis harus membongkar kopor dan mengembalikan barang-barang ke tempat semula karena batal pergi ke New York, perasaan yang sama muncul lagi. Walau kali itu, rasa marahnya hanya tipis, berkebalikan dengan rasa sedih yang mendominasi pikirannya. Ada sesuatu yang aneh terjadi di pikirannya. Gadis merasa ada sesuatu yang hilang. Seperti sekrup kecil hilang yang membuat kinerja mesinnya jadi ngawur dan berantakan. Setiap kali bangun tidur, Gadis bingung harus melakukan apa hari itu. Karena di hatinya terasa ada lubang yang menganga, yang harus ditutup-tutupi sedemikian rupa meski compang-camping.

Dan malam ini, perasaannya terasa jauh lebih ambigu. Jiwanya seolah mengambang, jauh dari tanah. Mengendarai mobilnya pulang, Gadis tak bisa menghilangkan ekspresi Bhaga ketika dia meninggalkannya di restoran tadi. Dibanding rasa marah, Gadis lebih bisa menangkap ekspresi sedih dan kecewa pada pria itu. Sayangnya, itu juga yang membuat Gadis lebih hancur lagi. Apa yang lebih menyakitkan daripada mengecewakan orang yang kita kasihi?

Gadis tak bisa lagi memilah apa dan bagaimana perasaannya. Sebab ada rasa marah, sedih, kehilangan, kosong, tapi juga lega, dan tenang. Ada sebagian dari dirinya yang dicabik-cabik, namun juga ada benang yang berusaha keras untuk menyambungkan cabikannya satu persatu. Ada lubang menganga di hatinya, namun ada juga selapis kain tipis yang berusaha keras menutupnya. Ada rasa kehilangan yang mencekik, namun ada juga sebuah rasa lega karena sesuatu telah kembali seperti semula. Ada rasa haru karena dia sudah memilih, namun ada juga sudut di hatinya yang terasa kosong, seolah-olah sebuah pesta telah berakhir meninggalkan sampah-sampah dan sisa-sisa keriuhan yang justru semakin mencekam.

Segala rasa yang saling menindih dan meniadakan itu membuat otaknya kacau. Lelah berlipat-lipat membuatnya tak kuasa menahan tangis. Seperti orang gila, Gadis mengendarai mobilnya sambil menangis. Bukan hanya tangisan malu-malu yang tak bersuara, tapi sebuah tangisan yang melolong putus asa dengan isak yang berkejaran dengan napasnya sendiri.

Esok hari, Gadis tak ingin membayangkan bagaimana dia terbangun. Kehilangan Bhaga tujuh tahun lalu rasanya ternyata tak sama. Sebab kali ini, terasa berlipat-lipat sakitnya.

***

"Cuti?" Steve mengangkat alisnya tinggi-tinggi. "Seminggu? Ini nggak bercanda?"

Gadis menggeleng. Baru lima menit yang lalu dia mengirimkan form pengajuan cuti kepada Steve via email. Dan tiga menit kemudian Steve langsung memanggilnya ke ruangan.

Di kantor lain, harusnya Gadis punya atasan Head of Sales. Kepadanya lah seharusnya semua urusan bermuara, mulai dari report hingga izin cuti. Namun di VOM, departemen sales berada di bawah sang CEO langsung, yaitu Steve. Atasan Gadis yang lain adalah Rama. Namun sebelum Rama komentar soal pengajuan cutinya, Steve sudah lebih dahulu meresponsnya dengan panggilan ke ruangan.

"Kok mendadak?!" Protes Steve. "Mana ada ngajuin cuti 3 hari sebelum?"

Gadis meringis. "Urgent, bos."

AFTER WE MEET AGAIN - REPOSTWhere stories live. Discover now