PROLOG

316K 17.7K 416
                                    

BACA DULU:

Alohaaaaaa~
Kaget nggak sih, aku muncul di lapak yang sudah lama tenggelam ini? Hahahaha 
Seperti yang sudah sempat aku infokan, naskah ini sedang dalam tahap revisi untuk penerbitan cetak. Nah, sementara menunggu prosesnya, sekalian buat mengingatkan kalian akan cerita ini, aku akan repost After We Meet Again dari bab awal sampai akhir. 

 Nah, sebelumnya kalian HARUS baca dulu beberapa informasi di bawah ini:

1. Cerita yang direpost adalah cerita asli yang aku tulis di tahun 2018. Plek ketiplek, nggak ada yang diubah sama sekali, termasuk teknisnya yang sangat acak kadut. Hahaha. Jadi kalau selama baca ini kalian menemukan teknis penulisan yang luar biasa salah (contohnya penggunaan dialog tag), abaikan aja. Aku tahu teknis penulisan cerita ini sangat kacau, tapi sengaja kubiarin karena aku pengin menyajikan pengalaman yang berbeda untuk versi cetak nanti.

2. Berarti versi cetak nanti beda, dong? BEDA BANGET! Wkwk. Alurnya mungkin sama, tetapi penyampaiannya beda. TBH, ini aku berasa nulis ulang cerita ini ;p

3. Repost dilakukan per bab seminggu satu kali setiap hari Sabtu, ya

4. Cerita ini nantinya akan dihapus lagi kalau naskah versi cetak udah masuk tahap lanjut editing. So, buruan aja bacanya, jangan ditunda-tunda. Daaaan, jangan lupa vote dan komentar ya, biar penulis semangat~

Dah gitu aja. 

Selamat melepas kangen dengan Gadis dan Bhaga!


-------------------------------------------------------------------------------


Melewati menit yang ke-65, sosok yang ditunggunya belum juga datang. Uap dalam cangkirnya melai melemah. Ia nyaris bisa mengikuti setiap gradual perubahannya. Hazelnut Latte yang tadi mengepul uapnya, kian menipis. Tipis. Kemudian lenyap sama sekali. Kopi yang sama sekali belum ia cicipi itu berubah menjadi serupa dengan air putih dingin, yang dia genggam erat-erat di kedua tangannya.

Sudah dua kali pelayan café menawarinya untuk menambah sesuatu. Namun ia hanya menjawabnya dengan senyuman dan kalimat 'nanti ya.'. Satu-satunya pesanannya hari ini, kopi air putih itu, bahkan masih utuh.

Dengan nada yang sedikit tidak ramah, pelayan itu bertanya apa kopinya terlalu manis atau kurang manis. Perempuan itu menjawab kopinya sudah pas. Lalu pelayan itu bertanya lagi, bagaimana dia bisa menyimpulkan kopinya sudah pas kalau dia bahkan tidak meminumnya. Tanpa menunggu jawabannya, pelayan itu membungkuk dan tersenyum kemudian meninggalkannya. Perempuan itu tersenyum tipis. Rupa-rupanya itu pertanyaan sindiran. Namun ia tak punya waktu untuk memikirkannya.

Sekali lagi, perempuan berambut bob sepundak itu menatap pintu kaca café, sebelum kemudian menatap jam tangannya. Pria yang ditunggunya belum tiba juga. Namun ia tidak mengeluh. Siapa yang menyuruh membuat janji mendadak ketika ia sudah duduk di dalam café dan memesan secangkir kopi? Bukan salah siapa-siapa jika nantinya dia harus menunggu sampai berjam-jam. Bukan salah siapa-siapa juga bila pria itu terlalu sibuk dan tidak bisa datang.

Tapi itukah yang akan terjadi? Bagaimana bila pria itu tidak datang? Dia teringat pesan yang dia kirimkan beberapa hari yang lalu. Pesan yang kurang lebih menyuruh pria itu enyah. Bagaimana bila pria itu terlalu marah untuk sekadar membalas pesannya? Apalagi menyambut undangan bertemunya?

Namun satu hatinya yang lain, perempuan itu justru berharap pintu kaca café itu tidak pernah terbuka, dan pria yang ditunggunya tidak pernah datang. Marah tidak apa-apa, asal mereka tidak bertemu hari ini. Sehingga apa yang akan ia sampaikan hari ini akan tertunda sedikit lebih lama. Karena kata-katanya hari ini, jelas akan lebih menyakiti daripada isi pesannya beberapa hari yang lalu itu.

Harapannya tidak terkabul. Di menit yang ke tujuh puluh, lelaki itu datang dengan sedikit kehebohan. Mungkin dia datang dengan berlari, sampai menabrak tong sampah yang berdiri di depan café itu, membuat sedikit salah paham dengan doorman yang berdiri di sana. Perempuan itu tersenyum tipis, menyadari betapa rindunya dia pada sosok itu. Teramat sangat rindu hingga tubuhnya terasa kebas karena sekuat tenaga menahan diri untuk tidak berhambur memeluk pria yang baru saja datang.

Kini pria tinggi itu mendatangi tempat duduknya dengan langkah kaki lebar-lebar. Si perempuan menghela napas. Wajah pria itu terlihat kusut. Begitu pula dengan kemeja dan pakaiannya. Rambutnya berantakan dan wajahnya terlihat lebih kusam dari yang terakhir kali dia lihat.

Pria itu kini sudah di hadapannya. Menyeret kursi dengan raut wajah tertekan. Kemudian duduk di sana tanpa banyak bicara. Kedua tangannya terpaut di depan tubuhnya. Kedua mata hitamnya menatap lurus, mengunci, menuntut sebuah penjelasan.

Dalam skenario perempuan itu, pria di hadapannya ini akan mencecarnya dengan berbagai pertanyaan, protes, tututan penjelasan dengan nada-nada tinggi yang mendekati kemarahan. Keheningan yang disuguhkan pria itu, serta mata yang jauh lebih bisa berbicara, membuat segalanya menjadi lebih sulit daripada yang dia pikirkan.

"Ayo...kita hentikan..."

Terbata-bata perempuan itu mulai bicara. Namun pria di hadapannya justru membalasnya dengan sebuah pelukan panjang.

***

AFTER WE MEET AGAIN - REPOSTWhere stories live. Discover now