"Tapi, berharap saja instingku salah," Namjoon kini tersenyum kearah Seokjin.

Tapi itu tak membantu sama sekali. Seokjin tak mau mengakuinya tapi insting Namjoon selalu benar.

"Nama dia Jeon Jungkook." Namjoon memulai makan malam dia.

Memuji setiap masakan yang masuk ke dalam mulutnya, Seokjin memang sangat jago dalam memasak. Namjoon akan selalu menolak jika guru lain menawarinya untuk makan malam di luar, karena tak ada yang bisa mengalahkan masakan Seokjin.

"Jeon itu marga yang jarang. Tiap aku mendengarnya aku selalu teringat pada keluarga Jeon yang itu." Ucap Seokjin menaruh sedikit kertertarikan pada murid itu.

"Yupz, dia Jeon yang itu." Seokjin terperangah mendengar ucapan Namjoon.

Tangan dia memegang lengan Namjoon dengan ekspressi menunjukkan 'Kau yakin?' Dan Jimin, dia terlalu terbiasa dengan sisi lain gurunya ini.

"Keluarga kaya dan modern itu. Waw." Seokjin kembali melanjutkan makan dia.

"Ada Jimin lalu Jungkook. Kalian anak orang kaya. Tak bisa kah kau memberiku sedikit uang atas semua pertolonganku?" Seokjin menatap kearah Jimin.

Dan seperti biasa Jimin hanya tersenyum.

"Aku jadi wali kelas dia di kelas 10, dan kupikir penderitaanku selesai ketika dia naik kelas. Tapi ternyata kepala sekolah memberiku kelas yang tetap ada Jimin." Seokjin menarik napas dalam mengingat saat pertama kali dia menjadi wali kelas seorang Park Jimin.

"Sudah larut, aku harus pulang." Jimin segera berdiri dari tempat dia duduk, dan mengambil tas yang ia lempar asal saat masuk.

"Yak... bilang saja Ice Cream-mu sudah habis, dan kau sudah memakai seragam rapih dan tak merasa perlu apapun lagi disini." Seokjin menunjuk ke arah Jimin dengan sendok di tangannya.

"Sonsaengnim, seragam kotorku ada di bantalan sofa. Terima kasih atas bantuannya." Jimin membungkuk dan tersenyum lalu menghilang dari pandangan Seokjin.

Jimin bisa mendengar sekilas teriakan Seokjin.

--------

Jimin menarik napas dalam di depan apartmentnya.

Dia merapihkan seragam juga rambutnya. Lalu melepas lensa kontak dia dan berganti memakai kacamata. Bukan kacamata besar seperti mereka nerd di drama, hanya kacamata biasa.

Kembali dia menarik napas sebelum akhirnya memasukkan kode apartment dia.

"Appa, aku pulang." Jimin berkata dengan nada penuh riang saat membuka pintu.

Seorang pria 40 tahunan menyambut dia dengan senyuman.

"Ah, Jimin kau akhirnya pulang. Ayah akan siapkan makan malam. Kau ganti seragammu." Jimin tersenyum dan menuruti perintah ayahnya.

Tak begitu lama untuk dia mengganti pakaian dan semua makanan sederhana sudah tertata rapih di atas meja.

"Selamat makan." Mereka makan malam dengan begitu hening, sesekali menatap satu sama lain dan tersenyum. Tapi Jimin tahu keheningan ini akan segera berakhir dengan pertanyaan rutin itu.

"Bagaimana sekolahmu?" Jimin menghembuskan napas pelan, bersiap untuk menjawab dengan kebohongan.

"Baik. Kelas Biologi agak membosankan, bahkan aku hampir tertidur. Saat jam makan siang salah satu temanku ada yang ditembak oleh seorang siswi, kami merasa iri pada dia, siswi itu juga begitu cantik dan pemalu. Dan saat jam pulang, kami mampir ke beberapa tempat makan dan arcade karena itu aku telat. Hehe..." Jimin mengakhiri semua kebohongan dia dengan tawa palsu.

Tak ada satupun cerita itu yang merupakan kejujuran.

Jimin tak masuk pada kelas apapun hari ini. Jam makan siang ada siswi yang menembaknya, dan memang cantik, tapi dia sebaliknya dari pemalu, bahkan seragam yang dia kenakan terlalu ketat dan pendek.

Alasan dia telat pulang, dia berkelahi dengan seseorang atau lebih tepatnya, berkelahi dengan sebuah kelompok.

Dia harus pergi ke tempat Seokjin setelahnya untuk mengganti seragam dia yang terkena bercak darah dan begitu kotor karena tanah, dengan seragam baru yang bersih agar ayahnya tak curiga.

Yupz, Jimin memiliki dua dunia, dimana yang satu dia adalah siswa yang paling ditakuti, dan yang satu lagi adalah siswa teladan yang dapat dibanggakan ayahnya.

"Baguslah," Ayah Jimin tersenyum begitu tulus.

"Jimin kau ingatkan kalau besok kau akan bertemu dengan ibumu?" Ayah Jimin menatap Jimin khawatir.

"Iya, aku ingat. Aku tak akan lupa Yah..." Jimin menggenggam tangan Ayahnya, memberi isyarat kalau dia tak papa.

"Ibumu, mengatakan sesuatu pada Ayah," Jimin mengubah raut wajahnya, seketika ia lah yang khawatir.

"Ibumu ingin..." Ayah Jimin memberi jeda pada ucapannya membuat Jimin semakin khawatir.

"Kau mewarnai rambutmu dengan pink." Dan Jimin kini berteriak dalam hati 'My life is such a joke!'

"Ayah tahu tak ada aturan tentang warna rambut di sekolahmu. Jadi tak papa kan?" Jimin hanya bisa berkata ini semua demi ayahnya.

The Way Into The Spring || JiKookWhere stories live. Discover now