BAB 1

78.5K 5.1K 218
                                    

Waktu masih menunjukkan pukul setengah tujuh pagi ketika Amelia menyibak tirai jendela. Seberkas cahaya merembes masuk ke ruangan itu. Amelia menghampiri ranjang di mana putranya terlelap. Dengan gerakan pelan, dielusnya puncak kepala Arkan yang masih terbuai mimpi. Surai hitam legam itu terasa lembut ketika menyentuh telapak tangan Amelia, membuat Amelia tidak mampu menahan senyum.

Tidur anak laki-lakinya begitu damai. Amelia tidak tega membangunkannya. Ditatapnya paras rupawan sang buah hati. Hidungnya yang mancung. Bulu mata lentiknya yang, apabila kelopaknya terbuka, akan memayungi mata bulatnya yang indah dengan binarnya yang cerah. Bibir tipisnya yang berisi dan berwarna merah muda cerah. Dia begitu tampan, persis seperti ayahnya, Amelia membatin. Setiap kali memandangi Arkan, tidak bisa tidak, Amelia akan membandingannya dengan mantan suaminya.

Arkan baru menginjak usia empat tahun, dua minggu yang lalu. Putranya tidak seperti anak kebanyakan. Arkan terlalu pendiam dan justru lebih suka menyendiri. Terkadang Amelia dibuat takut melihat anak laki-lakinya yang tampak enggan berinteraksi dengan orang lain atau teman sebayanya. Mungkin itu juga disebabkan Arkan belum bisa berbicara sefasih anak-anak seusianya. Kalimat-kalimat yang dilontarkannya belum sempurna, tidak begitu jelas, sehingga sukar dipahami orang lain. Kata-katanya lebih terdengar seperti gumaman. Mungkin itulah yang menjadi penyebab Arkan tidak percaya diri.

Sementara itu, Amelia tidak bisa berbuat banyak. Ia sedih setiap kali melihat Arkan yang selalu tampak kesulitan ketika hendak berbicara. Putranya itu selalu tampak kebingungan saat ingin menyampaikan sesuatu. Amelia ingin memeriksakan kondisi Arkan kepada dokter ahli, tetapi itu tentu membutuhkan uang banyak. Amelia sudah cukup kesulitan memastikan mereka makan cukup dalam sebulan.

Pada akhirnya, Amelia hanya bisa menduga-duga, alasan putranya memiliki kesulitan komunikasi. Mungkin saja, karena ia jarang mengajak Arkan berbicara. Dibanding berkata-kata, Amelia memang lebih suka menunjukkan kasih sayangnya dengan tindakan. Di samping itu, kesibukan Amelia bekerja juga membuatnya tak punya waktu banyak untuk mengobrol dengan Arkan. Mungkin hal itulah yang membuat kosakata Arkan tidak berkembang, termasuk kemampuan komunikasinya.

Masalah perekonomiannya yang memprihatinkan kerap membuat Amelia kelimpungan. Dia dan putranya tinggal di daerah kumuh padat penduduk, yang setiap rumahnya nyaris tak bersekat. Lingkungan sekitarnya kotor, dan bau menyengat mengelilingi rumah mereka.

Apabila terjadi hujan deras, Amelia seringkali harus mengungsi akibat banjir. Lebih menyedihkannya lagi, dalam beberapa minggu ke depan, ia dan Arkan terancam akan kehilangan tempat tinggal. Perjanjian sewa rumah yang ditempatinya akan berakhir dan Amelia belum memiliki sepeser pun uang untuk membayar sewa lagi. Ia kebingungan, harus mencari uang ke mana. Dalam waktu kurang dari satu minggu dia harus mendapatkan uang tambahan sebayak tiga ratus ribu. Itu belum termasuk cicilan hutang yang dia miliki beserta bunganya

"Da ...." Terdengar suara Arkan yang memanggil Amelia.

Maksud ucapan anak itu adalah Bunda. Seperti inilah cara Arkan berbicara. Terpotong-potong dan sukar dipahami, kecuali oleh Amelia.

Amelia mengulas senyum demi melihat Arkan yang berusaha bangun dari posisi berbaringnya. Ditatapnya Arkan dengan lembut seraya tersenyum. Arkan pun balas tersenyum. Senyumnya yang malu-malu terlihat sangat menggemaskan.

"Ehm, sayangnya Bunda sudah bangun. Arkan lapar?" tanya Amelia lembut, seraya mengusap surai hitam Arkan. Tatapan Amelia tertuju pada jam yang menempel di dinding kusam rumahnya. Semalam ia dan Arkan sama sekali tidak makan apa-apa. Itu dilakukannya untuk menghemat pengeluaran belanja. Dan sekarang Amelia merasa sedikit was-was karena hal itu.

Ketika Amelia kembali menatap putranya. Arkan tampak menggeleng pelan. Kedua tangan Arkan terangkat, lalu mengalungkannya ke leher Amelia. Mulutnya meluncurkan tawa riang seolah hidupnya tanpa beban. Wajahnya menyuruk ke leher Amelia, membuat wanita itu mengeratkan pelukannya. Diusapnya punggung Arkan perlahan.

"Aem co?" ucap Arkan. Kalimat itu terdengar seperti pertanyaan. Yang dimaksud Arkan adalah makan bakso.

Lagi-lagi wajah Arkan tampak malu. Amelia tidak tahu, kenapa setiap selesai berbicara, putranya itu selalu menampilkan ekspresi malu-malu. Mungkin itu sudah tabiat Arkan. Atau mungkin juga ekspresi rasa malu karena suatu hal, yang sama sekali tidak Amelia ketahui.

"Arkan mau makan bakso? Nanti ya, kalau Arkan udah mandi dan wangi, Bunda buatin deh baksonya." Amelia mengacak rambut Arkan gemas, sementara Arkan hanya membalas dengan anggukan.

"Ya udah, Bunda mandiin, yuk!"

Amelia bangkit dari posisinya dan langsung menggendong Arkan.

Mereka pun keluar kamar, berjalan menuju kamar mandi yang terletak di dekat dapur. Di rumah itu hanya ada satu kamar mandi. Kondisinya sememprihatinkan dompet Amelia. Lantai keramiknya sudah pecah-pecah, dan bak mandinya penuh dengan tambalan-tambalan. Namun, meski begitu, Amelia tetap mensyukurinya. Mengeluh tidak akan menyelesaikan masalah. Itu prinsip Amelia.

***

"Aco nak, Da," ucap Arkan, yang membuat bibir Amelia merekahkan senyum.

"Baksonya enak? Arkan suka, kan?"

Arkan hanya mengangguk. Senyum di wajahnya tidak luntur. Senyum itu membuat matanya menyipit dengan menggemaskan. Wajahnya berbinar hanya karena sepiring bakso. Melihat wajah Arkan yang begitu mirip dengan Damar, membuat Amelia berdoa di dalam hati, agar kelak, ketika Arkan dewasa, ia tidak menjadi lelaki yang seberengsek Damar yang menyebalkan, dan gemar bertindak sesuka hati.

"Sayang, kalau Arkan sudah besar nanti, Arkan harus jadi anak laki-laki yang menghormati perempuan ya, Nak. Jangan pernah menyakiti hati perempuan mana pun." Arkan mendengarkan nasihat Amelia dengan penuh perhatian. Sekali pun Amelia tidak yakin Arkan bisa memahami perkataannya.

"Karena," lanjut Amelia. "Bundanya Arkan juga perempuan."

Lagi-lagi Arkan menganggukkan kepala dengan sungguh-sungguh. Dengan bersemangat, ia mengunyah gigitan baksonya dengan lahap. Seketika senyum miris tercetak di wajah Amelia. Seandainya Arkan tahu jika yang dimakannya bukanlah bakso yang sebenarnya. Apa anak itu akan sedih dan marah padanya? Beruntung, Arkan masih kecil. Dia tidak akan tahu beda antara bakso yang sebenarnya dengan adonan tepung yang diracik dari bumbu seadanya dan dibulat-bulatkan seperti bakso.

Amelia mengusap kepala Arkan sambil tersenyum dan berusaha untuk tidak menitikkan air mata. Padahal ini cuma bakso, tapi Amelia bahkan tidak bisa membelikan bakso yang sebenarnya untuk Arkan. Putranya yang hanya semata wayang. Miliknya satu-satunya. Amelia merasa sudah menjadi ibu yang paling menyedihkan di dunia.

"Arkan udah selesai makannya?" tanya Amelia.

Arkan mengangguk. Sambil tersenyum, Amelia mengelus rambut Arkan dengan lembut. Diambilnya mangkuk kecil di hadapannya dan menaruhnya di dekat kompor. Amelia tidak sempat mencucinya. Dia sudah hampir terlambat untuk berangkat kerja. Diusapnya sudut bibir Arkan yang kotor dengan sapu tangan persegi berwarna biru laut. Dengan tergesa-gesa Amelia merapikan seragam office girl-nya lalu mengangkat tubuh Arkan ke dalam gendongannya.

Setiap hari Amelia membawa Arkan ke tempat kerja. Dia tidak bisa menitipkan Arkan pada tetangga atau ke tempat penitipan anak. Tetangga yang dulu selalu menerima Arkan untuk dijaga lama kelamaan mengelih karena tidak bisa memahami ucapan Arkan. Sementara untuk menitipkan Arkan ke day care, Amelia tersandung masalah biaya. Dan malangnya, tempat kerjanya tidak menyediakan tempat penitipan anak. Amelia akhirnya membawa Arkan ke kantor dan menempatkannya di sudut pantri. Arkan yang memahami Amelia, selalu tenang dan tidak pernah bersikap rewel.

Tak pernah sedikit pun Amelia tidak merasa kejam karena harus membiarkan putranya menunggu sendirian di pantri. Namun, Amelia tidak bisa memikirkan cara lain.

-TBC

Untuk ArkanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang