”Aa... itu mukanya jangan ditekuk terus. Aa, duduknya sambil tidur-tiduran aja ya. Ini mah kursinya bisa dirubah jadi tempat tidur.”

"Eh... gimana caranya, Hen?”

”Aa nya berdiri dulu.”

Gue mengikuti anjurannya Hendra untuk berdiri. Kursi ini memang design-nya berbeda dengan kursi yang pernah gue tumpangi sebelumnya. Bentuknya kotak besar, dan jarak antara kursi satu dengan lainnya tidak berdempetan.

Hendra melipat sandaran kursinya, dan menaikkan foot rest ke atas, sehingga membentuk seperti kasur, sepertinya muat digunakan oleh dua orang yang berbadan slim. Gue mendekat ke arah Ferdi yang terlihat pura-pura membaca majalah dengan posisi terbalik.

”Fer!!”

”Eh... i-iya. Kenapa Andri sayang. Sini duduk di samping aku.”

”Nggak mau!!! Lo tuh kok susah banget sih gue kasih tau.”

”I-iya... Maaf, Sayang. Aku tadi buru-buru soalnya,” jawab Ferdi sambil menggarukkan kepalanya.

”Terus kenapa baca majalahnya terbalik?”

”Hah... Eh... A-anu... ini salah ya,” jawab Ferdi terbata-bata sambil menyengir kuda.

”Aa, ini udah jadi, si Aa udah bisa tidur-tiduran sekarang.” Terdengar suara Hendra dari belakangku.

”Andri sayang, udah ya. Jangan cemberut terus.”

”Iya... iya...” jawab gue ketus.

”Maaf ya, Sayang,” ucap Ferdi sambil mengelus pipi gue. Sikapnya Ferdi ternyata bisa meluluhkan amarah gue. Tapi gue nggak akan biarkan kejadian ini terus terulang.

Sekitar satu jam setengah gue berada di pesawat ini, tiba-tiba terdengar pemberitahuan kepada seluruh penumpang, bahwa pesawat akan segera mendarat di Bandara Changi.

”Sayang, kursinya dinaikkin lagi ke posisi semula ya.”

”Iya, Fer. Gue nggak tau cara balikin kursi ke posisi semula.”

”Kamunya berdiri dulu. Aku yang beresin tempat duduknya.”

Setelah kursi dikembalikan ke posisi semula, kami pun duduk dikursi masing-masing. Gue melihat jam tangan, waktu menunjukkan pukul 10.40. Pesawat ini pun akhirnya mendarat di Bandara Changi.

”Aa, udah laper belum?”

”Belum terlalu laper, Hen. Lo laper nggak?”

”Belum sih A, tadi makanan di pesawat kan lumayan banyak. Tapi aku mau nyobain masakan khas Singapore, katanya enak pisan siah.”

”Hen, kita makan di canteen aja ya. Ini dijamin nggak bakal Aa kamu cemberut.”

”Bener siah ya, Fer. Dari tadi aku kena imbasnya mulu.”

”Dimana tempatnya, Fer. Gue masih nggak yakin sama lo”

”Di terminal 2, kita kan sekarang ada di terminal 3, jadi harus pake monorel dulu ke sananya.”

Gue dan Hendra pun mengikuti kemana Ferdi melangkah. Setelah mengurus imigrasi, kami berjalan menuju halte monorel yang berfungsi untuk menyambungkan antara terminal 1, 2 dan 3.

Untuk kesekian kalinya gue terkagum-kagum dengan kecanggihan bandara ini.
Setelah sampai di terminal 2, kami pun keluar gedung bandara dan berbelok kekiri, di sudut jalan ada tempat khusus untuk merokok, kami pun berbelok kekiri lagi menuju lorong.

”Fer, kok jalannya ke samping gedung bandara?”

”Tempat makannya ada di lantai bawah, tuh di ujung sana ada tangga turun.”

Coklat Cap Ayam JagoWhere stories live. Discover now