Chapter 1: Mantan

Start from the beginning
                                    

"Ngenes amat ditinggal pacaran," gerutu Naura.

Rasanya Naura ingin menangis. Ingin mengadu kepada Ayah Rudi, Naura tidak bisa. Ayah Rudi tengah berada di luar pulau karena pekerjaan Ayah Rudi sebagai TNI. Selama ini Naura tinggal bertiga bersama Mas Nara dan Mbok Inah setelah Bunda Nada meninggal. Ah, mengingat itu, benar-benar membuat Naura sedih.

Naura mengambil ponsel yang ada di saku rok abu-abunya. Setelahnya, ia segera mengirim pesan kepada Mas Nara untuk segera menjemputnya. Lantas, sedetik kemudian ia mendial nomor kakaknya itu dan menelponnya.

Naura mengetuk-etukkan sepatunya pada tanah. Menunggu sambungannya terhubung.

"Mas Nara! Kapan jemput Naura di sekolah? Tinggal Naura sendiri ini. Enggak kasihan apa sama adiknya sendiri?" ucap Naura setelah Mas Nara mengangkat telponnya. Alis Naura menyatu.

Di sisi lain, Mas Nara memejamkan matanya mendengar suara adiknya itu. Mengusap-usap telinganya sebentar lantas kembali mendekatkan ponselnya ke telinga.

"Maaf, dek. Mas lagi sibuk ini. Tiba-tiba ada pertemuan BEM di kampus. Mas telat jemput kamu."

"Pertemuan apa? Pasti lagi makan bakso sama Mbak Kesya, kan? Lagian bukan telat namanya, udah telat banget ini."

"Enggak, dek. Beneran ini. Tadi emang makan sama Kesya tapi cuma sebentar. Satu suap aja belum, langsung pergi."

Naura mengerucutkan bibirnya. "Enggak usah bohong."

"Enggak. Mas udah chat pacarmu buat jemput kamu tadi. Mungkin sekarang udah mau sampai."

Naura tersentak kaget. Matanya membulat mendengar ucapan kakaknya itu. Naura berharap penuh ia salah mendengar. Namun, Naura sadar tidak ada yang salah dengan indra pendengarannya.

Naura tidak memiliki pacar baru setelah putus dari Arka. Namun, putusnya ia dengan Arka belum diketahui oleh Mas Nara. Itu artinya, Arka yang akan menjemputnya.

"Mas Nara kok gitu, sih? Jangan bercanda, deh."

"Mas Nara serius. Udah, ya, Mas tutup telponnya. Bye!"

Sedetik kemudian sambungan terputus. Naura menatap sendu tetesan air hujan yang ada di hadapannya. Tangan kanannya yang memegang ponsel terasa lemas.

"Mas Nara jahat."

***

Motor matik berwarna putih itu berbelok pada salah satu gang yang ada di area perumahan. Tidak lama kemudian berhenti di depan gerbang berwarna hitam yang memagari antara jalan dengan sebuah rumah minimalis bernuansa monokrom itu. Di halaman yang tidak luas terdapat kolam kecil dengan air mancur yang bergemercik. Beberapa pot bunga berjejer rapi di atas rumput hijau yang basah karena guyuran hujan yang sudah mereda.

Naura turun dari atas motor. Seketika itu dinginnya jalan aspal menjalar pada telapak kakinya yang telanjang. Naura mengangkat kakinya bergantian. Berusaha meminimalisir rasa dingin yang terasa seperti es.

Naura memang sengaja melepas sepatunya tadi. Ia tidak mau sepatunya bertambah basah. Maka dari itu, ia meminta Arka untuk menyimpan sepatunya di bawah jok motor.

Arka tertawa. Ia segera turun dari motor lalu mengambil sepatu kesayangan mantan pacarnya itu.

"Enggak usah ketawa." Naura mengerucutkan bibirnya.

"Lebay, sih. Pakai acara lepas sepatu," cibir Arka sembari memberikan sepatu abu-abu Naura.

"Biarin." Naura segera mengambil sepatunya. Tanpa ingin menawari Arka untuk mampir ke rumah Naura langsung membuka pagar dan masuk ke dalam. Meninggalkan Arka yang sibuk melepas mantel yang dipakainya.

Arka berdecak. "Mantan kampret."

Di dalam, Naura berpapasan dengan Mbok Inah, pembantu rumah. Setelah menaruh sepatunya pada rak kecil Naura segera menyalami tangan wanita paruh baya itu.

"Assalamualaikum, Mbok."

"Waalaikumussalam, Mbak. Tumben Mbak Naura pulang telat," ucap Mbok Inah.

Naura menegakkan tubuhnya. "Iya nih, Mbok. Gara-gara Mas Nara, tuh, enggak jemput-jemput Naura. Katanya lagi ada urusan di kampus. Naura kesal, Mbok," adu Naura.

Mbok Inah tersenyum. "Terus pulangnya sama siapa ini?"

Naura menghembuskan napasnya. Ia mengendikkan bahunya. "Enggak tau. Yaudah, Mbok, Naura ke kamar dulu, ya." Naura segera berlari menuju kamar, sedangkan Mbok Inah mengerutkan dahinya bingung.

Mbok Inah berjalan menuju halaman rumah. Wanita itu penasaran siapa yang menjempun anak majikannya. Tidak mungkin Mas Nara jika Naura saja mengatakan Mas Nara tengah ada urusan di kampus.

Mbok Inah melihat Arka yang tengah melipat mantel di depan gerbang. Mbok Inah tersenyum.

Ternyata pacarnya, toh.

Wanita paruh baya itu kemudian berjalan mendekati Arka. "Mas Arka."

Arka menoleh. "Eh, Mbok Inah. Ya ampun, Mbok. Lama enggak ketemu tambah keriput aja."

Bukannya tersinggung ataupun merasa sakit hati, Mbok Inah malah tertawa. Ia menepuk lengan Arka yang terbalut kaos lengan panjang berwarna putih. "Namanya juga sudah tua, Mas. Ya tambah keriput," ujar Mbok Inah.

Arka ikut tertawa. Selesai melipat, ia meletakkan mantelnya pada motor.

"Mampir, Mas Arka. Masuk ke dalam, yuk. Mbok bikinin teh panas biar badannya anget."

Arka menggelengkan kepalanya. "Enggak usah, Mbok. Makasih. Arka mau langsung pulang aja," ucapnya menolak.

"Udah enggak apa-apa. Mampir dulu aja sebentar. Main ke rumah sama Mas Nara. Tuh, Mas Nara juga udah pulang."

Mbok Inah menunjuk ke arah jalan. Arka menoleh.

Mas Nara dengan motor besarnya mendekat. Ia mengklakson satu kali. "Ka, ngapain di situ? Masuk, Bro. Enggak bisa lewat, nih," ucap Mas Nara membuka kaca helmnya.

Arka meminggirkan sepeda motornya. "Enggak, Mas. Aku pulang aja."

"Pulang gimana? Masuk aja dulu, lah. Ngopi bareng. Udah lama kamu enggak mampir juga."

Gimana mau mampir kalau udah putus sama Naura. Masa iya mampir ke rumah mantan. Batin Arka bersuara.

"Masuk dulu, Bro," ucap Mas Nara tidak ingin ada bantahan. Mas Nara memarkirkan motor besarnya di garasi.

Arka mengendikkan bahunya.

Oke lah. Sekali-sekali silaturahmi sama keluarga mantan. Enggak dosa, juga...

***

***

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.
Mantan Rasa Pacar [END]Where stories live. Discover now