Wattpad Original
There are 4 more free parts

03 - Panas

63.9K 6.3K 151
                                    

Sebagai aksi ketidaksukaan atas sikap kedua temannya, Nadia pun menolak bicara.

Thalita dan suaminya sangat kekanak-kanakan. Keduanya terang-terangan tidak peduli atas sikap canggung yang dialami Nadia saat ini. Reinald bahkan sengaja berpindah duduk ke samping Saka, agar sekiranya Nadia bisa duduk berhadapan dengan Saka.

Ajakan Saka untuk mencari meja lain sudah jelas adalah tawaran terburuk. Maka tidak ada pilihan lain untuk Nadia selain duduk manis di samping Thalita, berhadapan langsung dengan Saka yang tidak segan terus memperhatikannya.

"Rileks, Nad. Anggap aja kita lagi reunian."

Perkataan santai Reinald langsung membuat Nadia melayangkan tatapan tajam ke arah pria itu. Reinald malah mengedikkan bahu dengan cuek seraya kembali menatap istrinya.

"HP-nya, Sayang. Kita udah mau makan," ucap Reinald dengan lembut, menegur sang istri yang terlihat sibuk memainkan ponselnya.

"Maaf. Ngecek kerjaan bentar." Thalita masih mengetik di ponsel sebentar, sebelum menyembunyikannya ke dalam tas, bertepatan dengan kedatangan pelayan yang membawakan makanan mereka.

Gila kontrol. Nadia mencemooh sikap Reinald dalam hati. Namun, dia tahu pasti kalau Thalita sangat menikmati perhatian berlebihan dari suaminya. Pasangan aneh.

Sekilas Nadia melihat gerakan kepala Saka yang menggeleng pelan sambil menatap ke arah Reinald, sebelum pria itu kembali menatap ke arahnya dan menyeringai. Sudah jelas kalau saat ini mereka tengah memikirkan hal yang sama; sikap berlebihan dari pasangan suami-istri di samping mereka.

"Kan, tadi udah gue tawarin pindah meja," ucap Saka, mengingatkan Nadia.

Nadia masih enggan menanggapi. Dia memilih fokus pada isi piringnya.

"Jangan dululah, Bro. Lo pikir lagi ngadepin anak ABG, pakai acara tancap gas segala? Bedalah triknya. Sabar dikit," ujar Reinald seraya terkekeh bersama Saka, membuat Nadia kembali menatap penuh geram kepada Reinald.

"Rei!" tegur Thalita memperingatkan suaminya.

Reinald mengucapkan maaf tanpa suara, meski begitu dia tampak masih menahan tawanya.

"Nad? Ngomong, dong!" bujuk Thalita saat menyadari kalau sahabatnya masih betah menutup mulutnya.

"Lagi makan nggak boleh ngobrol. Entar suami lo bawel lagi, kalau gue ajakin ngomong," sahut Nadia tanpa menoleh pada Thalita. Dengan cuek, dia terus menyantap salad di piringnya.

Thalita tersenyum masam, sedangkan Reinald dan Saka kembali tertawa mendengar sahutan Nadia. "Nggak gitu juga kali, Nad," ucap Reinald, agak geli mendengar sindiran Nadia.

"Biasanya, kan, lo emang gitu. Suka lebay," jawab Nadia lagi, masih dengan gestur cueknya.

Tak ayal hal itu kembali membuat Saka tertawa mendengarnya. Bahkan Reinald tidak merasa tersinggung dibuatnya. Pria itu ikut tertawa bersama Saka.

Nadia bertambah kesal. Sepertinya memang hanya dia yang merasa tidak nyaman dengan situasi saat ini. Terlihat dari betapa santainya gestur Saka saat ini. Pria itu seakan sangat menikmati makan siang mereka. Tanpa merasa canggung dengan pertemuan mereka setelah sekian lama tidak bertemu.

Masalahnya, hubungan Saka dan Nadia sebelum ini sebenarnya tidak bisa dikatakan sebagai teman baik, apalagi sahabat. Saat SMA, mereka lebih sering bertukar tatapan sinis dan cemoohan.

Gaya bergaul keduanya yang terlampau berbeda, membuat Nadia dan Saka tidak pernah merasa cocok berada di satu tempat yang sama.

Nadia yang merupakan golongan cewek popular dengan karakter sok nge-bos serta selalu berada di lingkungan elit, berbanding terbalik dengan karakter cowok aman dalam lingkungan merakyat seperti yang dijalani Saka.

Bahkan meski saat itu sahabat-sahabat mereka berpacaran sejak di SMA, tapi hal tersebut juga tidak membuat Nadia dan Saka bisa akrab.

Selepas dewasa, hubungan mereka memang mengalami kemajuan. Sayangnya, walaupun ada suatu masa di mana Nadia dan Saka pernah berinteraksi lumayan intens, tapi karena ego yang pernah terluka, maka Nadia enggan mengingatnya sebagai sesuatu yang patut diperhitungkan.

Karena bagi Nadia, segala sesuatu tentang Saka di masa lalu, tidak akan pernah membuatnya merasa tenang dan nyaman. Selebihnya, Saka dan Nadia tidak lebih dari dua orang yang memiliki kenangan kurang baik di masa lalu mereka.

Nadia masih ingat, terakhir kali dia bertemu muka dengan Saka adalah ketika hari pernikahan Thalita dan Reinald. Lebih dari tiga tahun yang lalu. Cukup lama untuk membuat Nadia mengumpat ketika melihat bagaimana tampilan Saka saat ini.

Sekilas kabar tidak penting yang pernah diinfokan Thalita pada Nadia entah kapan, bahwa pria itu sudah berhasil menjabat sebagai Manager Marketing di tempatnya bekerja—memang sempat membuat Nadia mengerutkan kening ketika dulu pertama kali mendengarnya.

Pasalnya, tampilan urakan yang dulu diperlihatkan Saka sama sekali tidak mencerminkan pekerjaan macam apa yang akan digelutinya di masa sekarang. Bahkan saat ini, tidak ada lagi tampilan berantakan dengan kemeja dikeluarkan ataupun kaus baju tanpa merek dan jaket kumal. Tidak ada juga jin belel dan rambut acak-acakan. Semuanya lenyap.

Tergantikan dengan kemeja kantoran yang tampak rapi dan pas badan. Rambut juga sudah dipotong dengan model haircut rapi. Serta celana kerja yang semakin menunjukkan bahwa dia tidak pantas lagi dipanggil dengan sebutan cowok urakan. Melainkan sudah menjadi seorang pria dewasa mapan yang mungkin akan membuat wanita seumuran Nadia memandang dua kali untuk menatapnya, bahkan lebih.

Sayangnya, hal itu tentu saja hanya berlaku pada wanita standar kebanyakan. Tidak untuk Nadia. Hanya sekilas Nadia mencoba memperhatikan Saka dengan saksama, kala pria itu sibuk berbincang dengan Reinald. Setelahnya, Nadia mendengkus pelan sambil kembali fokus pada makanannya. Merasa agak bodoh karena sempat terpana dengan tampilan Saka.

"Kok, berhenti?"

Mata Nadia terangkat saat Saka kembali mengajaknya bicara. Kali ini Nadia merasa harus meladeni pria itu, saat melihat sorot jenaka di matanya. "Sori, maksudnya?" tanya Nadia.

"Ngelihatin gue. Kok, berhenti?"

Nadia langsung mengangkat alisnya, berusaha tenang, meski dalam hati sudah mengumpat saat mendengar pertanyaan Saka. Bertambah jengkel lagi saat mendengar Thalita agak tersedak minumannya akibat menahan tawa mendengar pertanyaan frontal Saka. Reinald bahkan sudah kembali dibuat tertawa geli.

"Bukan berarti karena gue diam aja pas lo ngelihatin gue seenaknya, gue juga harus balik ngelihatin lo terus-terusan, kan?" balas Nadia dengan dagu agak terangkat, menatap angkuh pada Saka.

Saka mengedikkan bahu. "Untuk dua orang yang lama nggak ketemu, menurut gue itu hal wajar. Nggak masalah."

"Udah, deh, ah! Makanan di piring juga belum habis, masa udah panas aja, sih, kalian?" Thalita menyentuh sebelah tangan Nadia untuk menenangkan sahabatnya. Tahu benar dia kalau saat ini Nadia tengah mengumpat dalam kepalanya.

"Gue panas? Enggak!" tolak Saka dengan raut agak geli. "Tapi, Nadia memang panas, kok. Dari dulu, kan, memang begitu. Iya, kan?"

Kurang ajar! Nadia menahan diri sekuatnya agar tidak menyemburkan makian di mulutnya. Kalau dulu, sudah pasti Saka akan habis dengan serangan mulutnya.

Namun, saat ini, ketika mereka sudah bukan anak ingusan lagi, maka Nadia berusaha bertahan dengan egonya untuk tampil lebih manusiawi di depan pria itu. Dia tidak sudi menunjukkan keganasannya hanya demi memuaskan pancingan Saka.

Not Like The MoviesWhere stories live. Discover now