Wattpad Original
Ada 6 bab gratis lagi

01 - Prolog

131K 7.7K 335
                                    

14 Tahun Sebelumnya

"Lo ngapain, sih?"

Nadia mendongak, menatap sebentar pada cowok berseragam SMP yang tadi menyapanya. Dia tidak menyahut dan hanya berdecak, lalu kembali mencoba mengangkat terali besi yang menutupi selokan di bawahnya.

Merasa tidak ditanggapi, cowok itu mendengkus pelan dan tidak mau ambil pusing. Dia langsung berjalan menjauh.

"Pulpen gue jatuh."

Nadia terpaksa mengakui kalau dia memang butuh bantuan. Terali besi yang menutupi selokan tempat pulpennya jatuh benar-benar berat. Benda itu sedari tadi tidak bergerak sedikit pun meski Nadia setengah mati mencoba mengangkatnya.

Cowok yang tadi sudah berjalan beberapa langkah dari tempat Nadia, akhirnya berbalik sambil meraih pulpen di saku seragamnya. "Pakai punya gue aja, deh. Ribet ngambil yang itu," ucapnya sambil menundukkan kepala, memeriksa keberadaan pulpen Nadia yang sudah tergeletak di dasar selokan.

"Itu punya nyokap gue."

Nadia sebenarnya setengah mati menahan tangis ketika menggumamkan kalimat itu. Dia menunduk dan masih terus mencoba mengangkat penutup selokan. Jarang sekali dia seceroboh ini menjatuhkan pulpen pemberian almarhumah mamanya. Benda yang dianggapnya sangat spesial dan hanya digunakan pada momen tertentu.

Ini adalah hari terakhir Nadia mengikuti MOS di SMA yang baru saja dimasukinya. Karena terdesak waktu dan menghindari hukuman tambahan, Nadia terpaksa menggunakan pulpen itu saat meminta tanda tangan para senior yang menjadi panitia.

Setelah urusannya selesai, Nadia menyelipkan pulpennya di buku catatan. Sialnya, tanpa sengaja dia malah menjatuhkannya saat tadi setengah berlari melewati selokan di dekat parkiran sekolah, membuatnya harus berkutat di sana selama beberapa menit ini.

Lebih sialnya lagi tidak ada siapa pun di sana yang peduli dan terus berlari karena sama-sama tidak ingin terlambat, sebelum akhirnya cowok ini datang lalu menawarkan bantuan.

"Minggir dulu."

Sepertinya cowok itu menyadari suara bergetar Nadia. Dia langsung paham dan segera meminta Nadia menjauh dari posisi awalnya. Nadia menurut. Meski masih tidak mau mendongak, dia mempersilakan cowok itu untuk mencoba mengangkat terali besinya.

Dalam hati, Nadia mendengkus jengkel. Merasa agak tidak terima ketika harus mengakui kenyataan bahwa fisik anak perempuan dan laki-laki memanglah berbeda.

Buktinya, hanya butuh beberapa detik bagi cowok di depannya ini untuk mengangkat paksa penutup itu. Padahal sebelumnya Nadia sudah bermenit-menit mencoba dan tidak menghasilkan apa pun.

"Cepatan ambil! Berat, nih."

Nadia bergerak cepat saat mendengar perintah cowok itu. Dia menahan jijik ketika mencelupkan tangannya ke dalam selokan. Untung airnya tidak terlalu tinggi, hanya sekitar tiga sentian. Namun, tetap saja. Untuk ukuran gadis selevel Nadia, hal semacam itu tentu sangat menyakitkan hati ketika harus melakukannya sendiri.

Cowok itu kembali meletakkan penutup selokan tepat setelah Nadia berhasil mengambil pulpennya. Dia memperhatikan Nadia yang mulai sibuk mengeringkan pulpen dengan tisu miliknya, menunggu.

Nadia masih asyik dengan pulpennya ketika cowok itu terus menatapnya dengan alis mengerut. Dia yang akhirnya sadar tengah diperhatikan, langsung mendongak untuk menatap cowok jangkung di depannya. "Oh, thanks, ya!" ucapnya setelah beberapa saat saling menatap dalam diam.

Sejenak tadi, Nadia memang agak lupa kalau harus mengucapkan terima kasih. Rasa lega karena pulpen miliknya baik-baik saja membuat Nadia lupa pada keberadaan cowok itu.

Masih diam, tapi cowok itu tetap mengangguk singkat. Dia menatap sebentar pada pulpen di tangan Nadia, sebelum berbalik untuk berjalan menjauh.

Nadia bergegas membereskan perlengkapan MOS-nya yang tergeletak di lantai parkiran. Waktu istirahat hampir berakhir. Semua peserta MOS harus kembali ke aula tanpa terlambat kalau tidak mau mendapat hukuman.

"Hei!"

Nadia menoleh untuk mendapati cowok tadi kembali menatapnya dengan dahi mengerut.

"Seragam lo itu emang kekecilan, atau lo pinjam punya adek lo?"

Nadia tidak menjawab. Dia menatap cowok itu agak kaget. Jarang sekali ada anak laki-laki yang secara frontal menegur gaya berpakaiannya. Biasanya hanya kumpulan cewek resek saja yang berani mengusik dirinya dan sudah pasti akan ditantang balik oleh Nadia tanpa takut.

"Daleman lo juga kelihatan, tuh. Nyeplak. Item." Cowok itu menggeleng pelan sambil berdecak. "Pantes aja dari hari pertama lo ditindas terus sama senior cewek. Nyari mati banget, sih."

Nadia mengatupkan bibir ketika mendengar nada bicara macam apa yang digunakan cowok itu ketika berkomentar.

Ingin sekali rasanya Nadia melempar buku di tangannya ke belakang kepala cowok itu ketika melihat bagaimana raut meremehkan yang ditampilkannya sebelum berbalik pergi. Apalagi gelengan kepala cowok itu masih bisa dilihat dari tempatnya berdiri. Membuat kepala Nadia terasa panas.

Nadia tidak merasa malu karena teguran tersebut. Dia sudah terbiasa. Namun, Nadia jelas merasa sangat tersinggung. Murni merasa tidak terima. Karena, baginya teguran tersebut lebih mengarah pada singgungan meremehkan, bukannya kritik yang membangun.

Nadia sudah mengerti apa artinya hak asasi dan sedang belajar untuk menerapkannya. Jadi, punya hak apa cowok itu berani mengomentari gaya berpakaiannya?!

Bahkan ketika dia harus terus berurusan dengan para senior cewek sejak hari pertama MOS karena gaya berpakaiannya yang provokatif, semuanya tetap bukan urusan cowok itu.

Nadia paling benci kalau harus menghadapi orang macam itu. Sok mengurusi orang lain. Padahal belum tentu dirinya sendiri yang paling baik.

Dia mendengkus ketika mengingat bagaimana tampilan cowok tadi. Rambut berantakan. Seragam tidak disetrika. Selain kemeja yang dimasukkan ke dalam celana, sisanya sama sekali tidak menunjukkan kerapian. Dari awal sudah kelihatan sekali tipe cowok urakan.

Padahal Nadia sudah agak tersentuh sewaktu cowok itu bersedia membantunya tanpa diminta. Sayangnya, kekaguman sesaat tadi langsung lenyap akibat mulut lancang cowok tersebut.

Bagi Nadia, cowok dengan tipe seperti itu tidak layak untuk berada di dekatnya. Membuat hati dan kepalanya panas. Komentar-komentarnya pun hanya akan membuat Nadia jengkel dan merasa direndahkan.

Sampai kapan pun Nadia tidak berniat memasukkan cowok tersebut dalam lingkungan bergaulnya. Tidak akan pernah!

Not Like The MoviesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang