"Klaus? Ketua Organisasi Libra?" tanya sang ayah, pura-pura bego padahal ia tau siapa sosok Klaus.

Tak ada yang tidak mengenal sosok Klaus, termasuk keluarga Zahra sendiri. Zahra hanya bisa diam melihat sang Ayah yang masih memasang ekspresi marah, sedangkan Zhean dan Bunda nya sudah memasang muka tertarik.

Klaus yang melihat kondisi keluarga gadis mungil yang di sukai nya itu hanya bisa melihat mereka terheran-heran saat ini, tak mampu berkata-kata.

"Ayaah, Zahra bisa jelasiiiin! Ayah kan tau dia, Ayah! Ayah kenal ama Klaus-san dari pertama kali organisasi Libra terkenal gitu, gak usah sok-sokan galak gitu ntar asam urat nya kambuh, Ayah!"

Dan benar saja. Karena kepura-puraan beliau yang memasang muka marah, asam urat nya langsung kambuh karena konsentrasi parahnya dalam menyembunyikan kehebohannya itu justru membuat sakitnya kambuh.

"Aaaakh! Obat, obaaat!" rintihnya, Zahra kemudian menatap Ayahnya dengan malas.

"Baru juga di omongin." keluhnya.

"Gak denger omongan anak gadis sih, Yah." celetuk sang Bunda.

"Tauk deh, Ayah." Zhean langsung ikut-ikutan.

"Dari pada komentar gak jelas, cepet ambil obat Ayah sanaaaaa!"

"Aaaaaaa! Zhean, buruan Zheaaaaan!" heboh Zahra yang tak mau tingkah laku menyebalkan Ayah nya itu makin berlanjut di depan orang yang saat ini sedang populer itu.

* * * *

"Ah, Klaus-san, maafkan tingkah laku Ayah ku." ucap Zahra kemudian saat mengetahui Klaus masih menunggunya di luar rumah setelah suasana rumah tenang dan keluarganya berada di ruang keluarga saat ini, tidak mengupingnya lagi.

Lelaki itu masih berdiri di tempatnya dengan tenang, seperti biasa, ia selalu saja tersenyum dengan lembutnya, membuat Zahra selalu saja merasa luluh.

"Tidak apa-apa, aku bisa memahaminya. Bagaimana Ayahmu? Sudah mendingan?" tanyanya khawatir. Zahra mengangguk.

"Terima kasih sudah mengkhawatirkannya."

"Sama-sama. Baiklah, kalau begitu aku pamit pulang dulu. Sampai jumpa di lain waktu lagi, Zahra."

"Hmm. Sampai jumpa, Klaus-san."

"Selamat malam."

"Selamat malam."

Saat baru beberapa langkah meninggalkan sosok gadis kecil itu, ia menoleh dan mendekatinya lagi, membuat Zahra menatapnya terheran-heran kenapa Klaus mendekatinya lagi.

Tatapan mereka beradu satu sama lain, membuat Zahra sedikit risih di balik wajah meronanya.

"Ke ... Kenapa?" tanyanya bingung sambil mendongakkan kepalanya.

"Jangan mendongak seperti itu, turunkan lagi wajahmu, seperti biasa."

"Ah, hmm."

"Pejamkan matamu."

Setelah melakukan apa yang di minta Klaus, sosok tinggi itu kemudian menunduk, lalu mencium puncak kepala Zahra dengan lembut.

Begitu selesai, Klaus langsung meninggalkan Zahra yang menatapnya tak percaya dengan apa yang telah di lakukannya barusan sambil memegang puncak kepalanya yang baru saja di cium.

Lelaki jangkung itu melambaikan tangannya ke udara sembari berjalan menuju mobil, setelah masuk, ia menurunkan kaca mobil dan menoleh ke arah Zahra lalu melambaikan tangannya lagi.

Zahra membalasnya. Kemudian, mobil itu berlalu.

* * * *

Selama di mobil, Klaus hanya bisa bertopang dagu di dekat jendela mobil dan menatap ke arah jalan, sang supir yang ternyata adalah sang Ayah, melihat putranya yang sedang merona di landa asmara.

"Gadis itu masih terlalu kecil, tak salah kalau kau jatuh cinta dengannya?"

Klaus menoleh sedikit dan menatap sang ayah dari spion dalam mobil.

"Apakah salah? Dia biarpun mungil kecil begitu, biarpun umurnya masih muda dan terpaut jauh dariku, dia itu Waka Perusahaan Perlindungan kota loh."

"Oh ya? Tidak ku sangka. Berapa usianya?"

"15 tahun."

"Jauh denganmu itu 13 tahun, Klaus."

Klaus mendengus

"Ayah, dia sendiri tidak menolak."

"Baiklah, itu urusan hatimu."

"Hmh."

* * * *

Zahra yang saat ini sedang berdiam diri di kamarnya setelah beres-beres, ia masih mengusap-usap puncak kepalanya yang tadi di cium oleh Klaus tadi.

Mendadak, ia merasa mukanya langsung memerah padam, kemudian ia menempelkan mukanya ke bantal kepala yang di peluknya erat dan ia langsung berteriak histeris.

"Kyaaaaahhhhhh!!!!!"

* * * *

Azzahra's Destiny [✔]Where stories live. Discover now