0.1 | Bitterness

5.8K 455 184
                                    

"Junaaa!"

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

"Junaaa!"

Keributan mendadak terhenti. Segala atensi secara otomatis langsung terpusat pada satu titik di mana dia—yang baru saja berteriak lantang—sedang berdiri di depan pintu kelas sembari berkacak pinggang. Nampak jelas bahwa napasnya naik turun secara cepat. Tidak perlu dukun untuk menerawang hal yang akan terjadi selanjutnya. Tentu saja, murka gadis itu akan segera meledak. Sasarannya satu orang, dan sekarang ia—yang namanya baru saja diteriakkan—hanya cengar-cengir tidak merasa berdosa.

Langkah kakinya menghentak, geram bukan kepalang. Bahkan beberapa orang yang sempat berkerumun di sekitar Juna mulai mundur teratur. Mereka sama sekali tidak ingin ikut campur masalah dua insan yang tiap harinya tidak pernah akur.

"Hai Ca! Lo sakit?" Juna tersenyum lebar seraya mendekati gadis yang berhasil ia buat murka hari ini. "Keknya lo lagi meriang, deh. Lo panas? Soalnya muka lo merah gitu. Gue kipasin aja si-aduh!"

Ketika lelaki itu sedang menggerak-gerakkan buku yang sisa sampulnya, Caca dengan cepat menarik rambut Juna, bahkan tidak jarang tangannya yang bebas memukuli Juna secara membabi-buta hingga membuatnya mengaduh kesakitan.

"Lo apain buku gue sampai tinggal sampulnya gini, Junaaa?" geram Caca dengan tangan yang tidak luput menarik rambut pemuda itu.

Dengan kepala yang masih menunduk akibat dijambak Caca, Juna berucap dengan nada polos, "Gue berbagi dengan orang yang membutuhkan."

"Kalau mau berbagi, seharusnya lo pakai buku sendiri!" tangan Caca beralih pada telinga Juna. Ditariknya tanpa mengartikan rasa sakit. Ia bahkan tidak mengacuhkan Juna berteriak selayaknya sedang disiksa. Ya, meski itu kenyataannya.

"Kan, biar lo dapet pahala gede dengan berbagi. Nah, gue dapet cipratannya aja udah seneng banget," kilah Juna. "Lo lepasin gue, dong. Nanti kalau telinga gue jadi panjang sebelah gimana?"

Caca mendelik. "Enak aja!" pekiknya tepat di telinga Juna membuat pemuda itu meringis kesakitan.

"Pokoknya lo harus ganti! Gue enggak mau tau!" jeweran Caca berpindah dari telinga kanan ke telinga kiri Juna, "nih! Biar imbang! Biar sama-sama panjang!"

"Aduh! Ca! Woy! Hamba, kan, sedang bokek Kanjeng Ratu," ucap Juna seraya perlahan melepas jemari Caca yang setia menarik telinganya. "Ini telinga gue jadi panjang kayak kelinci loh kalau lo tarik terus."

"Amit-amit banget kayak kelinci!" Gadis itu tidak berhenti. Meski jemarinya baru saja lepas dari telinga Juna, namun ia dengan segera menarik kerah seragam pemuda itu dan menyeretnya menuju koperasi sekolah. Berkali-kali Juna memohon tapi sama sekali tidak digubrisnya.

"Ca! Bentar lagi masuk kelas. Pelajarannya Pak Budi, lagi. Nanti kalo telat kita bisa dihukum!" ujar Juna sembari berusaha melepaskan diri dari Caca. Meski berhasil, lagi-lagi gadis itu menariknya. Kali ini bukan lagi kerah baju, tapi lengannya yang jadi sasaran. Juna jadi khawatir jika seragamnya robek karena gadis itu.

Bitterness [slow update]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang