Epilog

71.9K 4K 209
                                    

Sudah tiga hari berlalu sejak Dariel dan Aira membuka mata. Hari ini pemuda itu sudah mendapat izin pulang.

Dariel merajuk sepanjang perjalanan pulang dari rumah sakit hingga ke rumahnya. Dia bahkan tidak malu menunjukkan tingkah kekanakannya meski ada keluarga Dennis yang turut mengantar hingga ke kediaman keluarga Kenneth. Biarlah Dariel melanggar tekadnya yang tidak ingin tampak seperti anak kecil manja di depan Aira. Toh tidak ada yang tahu bahwa dirinya pernah bertekad demikian.

Keinginan Dariel untuk menikahi Aira tidak dapat terwujud. Dia kalah suara. Akhirnya dia hanya sanggup membujuk semua orang agar mengizinkan Aira tinggal di rumahnya. Namun itu sama sekali tidak membuat Dariel puas.

Di kamar dia hanya duduk bersandar di ranjang dengan bibir mengerucut kesal. Ocehan keluarganya dia anggap angin lalu. Bahkan saat keluarga Dennis pamit pulang. Dariel hanya tersenyum kecil tanpa mengatakan apapun.

Tiga puluh menit sejak kepergian keluarga Dennis, keluarga Dariel serta Aira masih berbincang sementara Dariel hanya jadi penonton.

"Aira, kuharap kau berpikir ulang untuk menikah dengan bayi besar ini." Ujar Rick seraya berdiri sambil menggendong Yessy yang tertidur. Dia bermaksud pulang karena malam sudah semakin larut. Tapi rasanya tidak lengkap sebelum membuat Dariel kesal terlebih dahulu.

"Siapa yang kau sebut 'bayi besar'?" sergah Dariel.

"Siapa lagi?" cibir Rick. "Aira, jangan lupa siapkan dotnya sebelum dia merengek dan membuatmu terjaga sepanjang malam."

Dariel melempar bantal ke arah Rick yang membelakanginya. Tapi kemudian dia meringis karena gerakannya yang tiba-tiba membuat luka tembak di perutnya terasa perih.

Rick terkekeh. Dia menoleh seraya menjulurkan lidah ke arah Dariel.

"Haduh, sudah. Kalian berdua ini. Apa tidak malu dengan pasangan masing-masing?" William menggerutu kesal.

"Mommy juga sudah pusing. Terutama karena kelakuan 'bayi besar' itu." Amy meniru julukan yang diberikan Rick pada Dariel.

"Mom." Rengek Dariel tidak terima.

Amy mengabaikan Dariel sementara William sudah keluar dari kamar untuk mengantar Rick, Lutfi dan Yessy ke depan rumah.

"Ayo, Aira. Mom akan tunjukkan kamarmu." Amy memang belum sempat menunjukkan kamar yang akan Aira tempati karena sedari tadi masih sibuk menemani keluarga Dennis.

"Mom, Aira tidur di sini."

Amy menoleh dengan mata melotot ke arah Dariel. Amy tahu Dariel memang manja. Tapi sejak beberapa hari terakhir sifat manjanya kian menjadi. Entah ini efek dari insiden penembakan itu atau karena hubungannya dengan Aira sudah mendapat restu. Amy juga tidak tahu.

Yah, tapi tidak masalah. Setidaknya ini lebih baik daripada melihat Dariel saat masih bertarung dengan kanker. Walau saat itu manjanya tidak parah dan dia nyaris tidak pernah merajuk, tapi ibu mana yang tega melihat anaknya makin hari makin lemah seolah hidupnya hanya untuk menunggu malaikat maut datang.

Dan kondisi Dariel sekarang juga lebih baik daripada saat ia baru menjalani transplantasi organ. Dia yang biasanya ceria jadi pendiam. Bahkan seringkali menangis tanpa sebab. Tentu saja Amy tahu meski Dariel berusaha menyembunyikannya.

Ya, Amy harus bersyukur. Meski itu artinya dia perlu menguatkan hati karena keinginan Dariel yang makin melonjak.

"Enak saja."

"Dariel masih sakit, Mom. Bagaimana kalau Dariel haus tengah malam?"

Rasanya Aira ingin mencekik bocah satu itu. Dia sungguh malu pada orang tua Dariel.

In His Arm (TAMAT)Where stories live. Discover now