36

44.8K 3.6K 169
                                    

Sudah dua minggu berlalu sejak Dariel berhasil melewati masa kritis. Kondisinya berangsur membaik. Sekarang dia tidak perlu lagi mendapat perawatan intensif di ICU.

Namun pemuda itu masih terlihat betah menutup mata. Amy yang menunggui tiap hari sampai tidak tega melihat keadaan Dariel.

"Nak, kenapa kamu suka sekali melihat Mommy sedih? Mommy janji setelah ini akan menerima keinginan kamu untuk bersama Aira. Tapi Mommy mohon, segera buka mata kamu." Suara Amy terdengar pilu. Dia tidak tahu lagi harus membujuk Dariel bagaimana agar putranya itu mau bangun dari tidur panjangnya.

Rick yang sedari tadi melihat hal itu dari ambang pintu, bergerak masuk ke ruang rawat Dariel. Dia memegang bahu Mommynya pelan lalu membelai lembut.

"Begitu Dariel siap, dia akan bangun, Mom."

Tanpa perlu mendongak, Amy tahu bahwa Rick yang sedang berdiri di sampingnya. Dia masih duduk di kursi samping ranjang dengan jemari menggenggam tangan Dariel yang terkulai lemah.

"Ini semua salah Mommy. Andai Mommy tidak bersikeras memisahkan mereka, Dariel tidak mungkin seperti ini. Mommy sungguh menyesal."

"Kalau begitu Rick juga bersalah, Mom. Rick sempat berpikir untuk memisahkan mereka. Padahal mereka hidup dengan berbagi hati."

"Kau hanya berpikir, tapi Mommy sudah melakukannya. Mommy berusaha memisahkan mereka." Amy terisak sambil menyeka air matanya. "Sekarang Mommy baru mengerti. Sesak nafas Dariel paling parah terjadi saat dirinya jauh dari Aira. Mungkin saat itu Aira sedih karena mereka berpisah. Lalu kesedihannya mempengaruhi Dariel hingga membuatnya sesak."

Rick merenungi ucapan Mommynya. "Ah, benar. Selama ini Rick selalu heran mengapa Dariel bisa sampai frustasi parah hingga jatuh pingsan hanya karena berpisah dengan Aira. Padahal setahu Rick, Dariel adalah sosok pemuda yang lebih suka bertindak daripada memikirkan kesedihannya hingga berlarut-larut." Rick geleng-geleng kepala dengan takjub. "Rupanya yang membuat dia frustasi dan kesakitan adalah perasaan Aira. Karena lelaki tidak memiliki hormon wanita yang bisa membantu mengatasi rasa sakit, akhirnya dia tidak sanggup menanggung rasa sakit itu dan membuat dirinya hilang kesadaran."

"Astaga." Desah Amy sambil menggosok wajahnya dengan sebelah tangan yang tidak menggenggam tangan Dariel. "Saat Mommy memaafkan Dariel karena telah membohongi kita, Mommy memaksanya berjanji untuk tidak menemui Aira lagi hingga dia lulus kuliah. Dariel tampak pasrah. Bahkan dia berencana untuk melanjutkan sekolahnya di luar negeri. Mungkin dia meminta hal itu karena sadar bahwa dirinya akan terus pingsan karena dipisahkan dari Aira dan tidak mau membuat kita semua terus khawatir." Amy terisak. "Mommy membayangkan andai hal itu benar-benar terjadi. Sama saja kita membunuh Dariel secara perlahan. Dia terus merasa sakit tapi tidak bisa memberitahu kita.

"Walau kedatangan Dariel ke pesta membawa petaka, tapi di sisi lain Mommy bersyukur karena kita jadi tahu mengenai kondisi Dariel yang tidak bisa dia ungkapkan. Setidaknya Dariel tidak akan mati perlahan dengan menanggung rasa sakit tiap detiknya."

Rick memperhatikan puncak kepala Mommynya. Entah mengapa kata-kata dan nada suara Mommynya seolah ikhlas dengan kepergian Dariel sekarang. Tapi juga terdengar penuh tekad seolah dia berencana menyusul Dariel juga jika adiknya itu pergi.

Rick mendesah antara kesal dan frustasi atas tingkah semua anggota keluarganya. Dia juga baru mengetahui bahwa Daddynya terlibat dalam kebohongan Dariel. Itupun setelah merasakan banyak kejanggalan lalu memaksa sang Daddy untuk mengatakan yang sebenarnya. Sungguh keluarga yang konyol. Tapi Rick sangat menyayangi mereka.

Dengan perasaan sayang, Rick membungkuk ke arah Dariel lalu mengecup kening adiknya itu. "Dariel, cepat buka matamu! Jangan egois dan membiarkan kami semua sedih menunggumu."

In His Arm (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang