4

58.4K 4.9K 248
                                    

Aira turun dari motor Dariel dengan pikiran semakin kalut. Dia tidak mau menyangkal bahwa saat ini dirinya berharap kembali ke beberapa menit lalu, saat berada di punggung motor bersama Dariel. Meski Aira menganggap perbuatan Dariel menantang maut, tapi itu berhasil membuat Aira melupakan beban hidupnya sejenak.

"Kau punya masalah apa? Kenapa sampai ada polisi?"

Aira tersentak saat menyadari Dariel sudah berdiri di sampingnya. "Bukan apa-apa. Sebaiknya kau pulang saja. Kita ngobrol lain kali."

"Tidak mau. Aku akan tetap di sini." Ujar Dariel keras kepala.

"Pulanglah. Jangan buat orang tuamu khawatir di rumah."

Dariel menghadap Aira sambil berkacak pinggang. "Kau berkata seolah aku adalah anak SD. Kalau aku mau, aku sanggup menghamilimu saat ini juga."

Aira ternganga karena ucapan Dariel. "A—apa?!!"

"AIRA!!"

Aira tidak jadi mempermasalahkan ucapan Dariel yang menurutnya sangat tidak sopan. Perhatiannya kini beralih pada Bu Ina yang tadi menyebut namanya dengan suara lantang.

"Maaf Bu Ina. Sebenarnya ada apa ini?" Aira terlalu gugup sehingga tidak tahu harus berkata apa.

"Kau masih berani bertanya?" Bu Ina bertanya dengan nada tinggi. "Lihat itu, Pak! Dia pura-pura tidak bersalah."

Aira semakin gugup saat ia sadar para tetangga mulai menonton keributan di depan rumah kontrakannya. Jemarinya saling meremas. "Bagaimana kalau kita bicarakan hal ini baik-baik di dalam?

"Bukankah kemarin-kemarinnya aku sudah berusaha bicara baik-baik denganmu? Tapi kau sendiri yang hanya menganggap ucapanku angin lalu." Bu Ina kembali berkata.

Seorang polisi yang tampak memiliki jabatan paling tinggi di antara tiga polisi lainnya, memegang bahu Bu Ina untuk menenangkan lalu berbisik. Setelah Bu Ina terlihat tenang, barulah polisi itu mengalihkan perhatian pada Aira.

"Kita persingkat saja, Nona. Bu Ina merasa tertipu karena Anda hanya mengumbar janji untuk hutang-hutang Anda yang cukup besar. Tiap Bu Ina menagih, Anda berjanji akan membayar setelah gajian. Begitu seterusnya hingga sudah lebih dari setengah tahun." Polisi yang tampak berusia menjelang kepala empat itu berkata dengan lembut namun tegas.

"Itu—saya," Aira sudah nyaris menangis tapi dia berusaha menahan diri. "Saya juga punya hutang di tempat kerja. Jadi gaji saya sudah dipotong—"

"Itu masalahmu!" seru Bu Ina. "Kalau tidak mau gajimu dipotong, jangan coba-coba untuk hutang. Lalu sekarang, kamu mau menjadikan itu sebagai alasan?"

Aira terdiam. Dia sadar dirinya dalam posisi salah. Bagaimanapun hutang memang harus dibayar. Dan Bu Ina berhak menagih uangnya.

"Tunggu sebentar." Dariel yang mulai memahami situasi, akhirnya buka suara. "Sebenarnya berapa hutang Aira?"

Aira melirik Dariel jengkel karena remaja itu mencampuri urusannya. Selain itu dengan entengnya Dariel menanyakan nominal hutangnya di depan banyak orang. Aira sudah begitu malu karena Bu Ani menagihnya terang-terangan dengan membawa polisi. Dan sekarang Dariel malah akan menambah perasaan malunya dengan menanyakan hal itu tanpa melihat keadaan.

Sementara itu Bu Ina juga menatap Dariel kesal. Dia tidak suka remaja itu mencampuri urusan orang dewasa. "Hei, Nak. Bermainlah di tempat lain." Bu Ina berkata sambil mengibaskan tangannya mengusir Dariel.

Kesal, Dariel melangkah ke hadapan Bu Ina dan para polisi dengan tangan di pinggang. "Bagaimana jika saya bisa membayar lunas hutang Aira?" tanya Dariel dengan nada menantang.

In His Arm (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang