37

53.9K 3.9K 158
                                    

Semua orang sedang menunggu dengan cemas di depan ruang rawat Dariel. Tadi Dokter Farhan meminta waktu untuk memeriksa pemuda itu. Baru sepuluh menit berlalu tapi kegelisahan sudah melanda mereka.

"Tidak mungkin Dariel amnesia, kan?" Amy bertanya tidak jelas ditujukan pada siapa. Dia berdiri di depan pintu ruang rawat Dariel dalam pelukan William. Entah mengapa tubuhnya mendadak dingin. Wajahnya pucat dengan mata bengkak.

"Kepalanya tidak mengalami benturan. Seharusnya tidak, Mom." Rick yang menyahut.

"Lalu kenapa—" Amy tidak sempat menyelesaikan kalimatnya karena tiba-tiba pintu ruang rawat Dariel dan Aira terbuka, menampakkan Dokter Farhan yang berdiri di ambang pintu dengan jas putihnya.

"Dokter, apa yang terjadi dengan Dariel?" Amy langsung menodong Dokter Farhan dengan pertanyaan.

Dokter Farhan tersenyum menenangkan. "Tidak ada masalah. Dariel baik-baik saja."

"Tapi dia tidak mengingat kami." William berkata gusar.

"Dariel hanya sedang bingung seperti orang yang baru bangun tidur. Sekarang kondisinya sudah membaik. Dia bahkan menyebut nama saya dengan tepat."

Terdengar hela nafas lega.

"Kalau begitu, kami sudah boleh menemuinya?" Rick bertanya.

"Ya, silakan." Dokter Farhan menyingkir dari ambang pintu, memberi jalan keluarga Dariel serta Raka, Elena, dan Romy yang sedang menunggui Aira masuk.

Amy berdiri ragu di samping ranjang Dariel. Pemuda itu tidak melihat ke arahnya melainkan menatap ke arah Aira yang masih tidur di sampingnya.

"Dariel." Panggil Amy pelan.

Perlahan Dariel menoleh menatap Amy, lalu sebuah senyum terukir di bibirnya. "Hai, Mom."

"Putraku." Amy berkata dengan suara tercekat lalu memeluk Dariel erat. Sesekali ia menanamkan kecupan di wajah dan puncak kepala Dariel.

"Mom, beri Daddy kesempatan untuk memeluk Dariel juga." William berkata dengan nada merajuk.

Raka, Elena, dan Romy terkekeh sementara Rick hanya geleng-geleng kepala.

Amy menatap suaminya kesal lalu menyingkir memberi kesempatan. William tersenyum lebar seraya membungkuk untuk memeluk Dariel.

"Daddy tahu kau anak yang kuat. Kau pasti akan selalu kembali kepada kami."

"Daddy, Dariel bukan anak-anak lagi." Gerutu Dariel.

William melepas pelukan lalu menatap putranya dengan mata menyipit. "Kenapa kau tidak mau dipanggil anak-anak? Jangan bilang kau sudah siap menikah sekarang."

Dariel tersenyum lebar menampakkan gigi-gigi putihnya. Namun senyumnya berubah kecut saat mendapati Amy melotot ke arahnya. "Boleh kan, Mom?" tanya Dariel pelan.

"Tidak boleh! Kau masih sekolah!" seru Amy sambil berkacak pinggang.

Dariel mendesah. Dia memantapkan diri untuk mengungkap rahasia yang selama ini dipendamnya. "Sebenarnya Dariel bisa merasakan perasaan Aira. Dariel sering sesak nafas karena Aira merasa sakit hati."

Semua orang hanya diam saja tidak menanggapi ucapan Dariel. Pemuda itu menghela nafas. Dia sadar tidak akan ada yang percaya dengan ucapannya. "Memang kedengarannya tidak masuk akal. Tapi itu kenyataan."

"Basi." Rick berdecak. "Kau tidak punya informasi baru?"

"Maksudnya?" Dariel kebingungan.

"Kami sudah tahu mengenai hal itu." William menjelaskan.

In His Arm (TAMAT)Where stories live. Discover now