22a

41.6K 3.5K 89
                                    

Dennis mengerutkan kening melihat penampilan Aira. Tidak ada yang aneh. Tapi wanita itu masih mengenakan pakaian lamanya yang sudah kusam.

"Apa ada masalah dengan pakaian yang kubelikan?" Tanya Dennis.

"Ehm, tidak. Tapi saya merasa tidak nyaman mengenakannya. Pakaian itu terlalu mahal untuk saya." Jawab Aira. Tapi itu hanya salah satu alasannya. Alasan yang lain adalah agar siapapun lelaki yang akan dipertemukan dengannya tidak menyukai dirinya sehingga tidak jadi melakukan apapun yang direncanakan Dennis.

"Aku tidak akan membiarkanmu menemuinya dengan penampilan seperti ini. Dia pasti akan marah besar karena berpikir aku menelantarkan dirimu." Setelah berkata demikian Dennis menarik tangan Aira lalu membawanya ke kamar utama, kamar yang tempati Aira.

Aira menelan ludah dengan panik sambil berusaha menyamai langkah Dennis. Sepertinya lelaki yang dibicarakan Dennis seorang pemarah. Bagaimana kalau nanti—

Sesampainya di kamar, Dennis langsung menuju lemari besar yang luasnya sama seperti kamar Aira di kontrakan. Dia tampak mencari-cari lalu memilih gaun selutut berwarna pink pucat, lengkap dengan ikat pinggang lebar untuk menunjukkan pinggang ramping si pemakai.

"Pakai ini!" Dennis menyerahkan gaun itu pada Aira lalu memilih sepatu beralas datar yang warnanya senada dengan warna gaun. Dennis memang sengaja membeli sepatu tanpa hak untuk Aira karena dia tahu wanita itu tidak pernah menggunakan high heel. "Dan ini juga. Aku akan menunggu di ruang tamu."

Setelah Aira menerima gaun dan sepatu yang dipilih Dennis, lelaki itu segera keluar.

Ketakutan Aira semakin memuncak. Dia ingin tidak berpikir macam-macam. Tapi melihat gaun dan sepatu indah yang harus dikenakannya hanya untuk bertemu seseorang, pikiran buruknya tidak bisa berhenti.

Ya, Tuhan. Apa memang semenyedihkan ini kisah hidupnya? Tidak adakah cerita indah yang pantas untuknya?

Pikiran Aira semakin kalut tapi dia berusaha keras menahan air mata. Akhirnya tanpa bisa dicegah, kalimat yang berusaha ditahannya terlontar juga. Kalimat yang menunjukkan bahwa dirinya sedang berada di titik terlemah karena membutuhkan sandaran.

"Dariel, aku takut. Walau hanya bayanganmu, bisakah kau datang dan memelukku?" lirih Aira sambil menghapus air mata di pipinya.

***

"Dariel, aku takut. Walau hanya bayanganmu, bisakah kau datang dan memelukku?"

Kalimat itu mengusik Dariel di antara awan gelap yang menyelimuti otaknya.

"Aira?"

Dariel membuka mulut, namun tidak ada suara yang keluar. Dia seperti berada di suatu tempat yang gelap. Ya, semuanya gelap. Dia bahkan tidak tahu apa di sekelilingnya.

"Aira!"

Kali ini Dariel berteriak. Namun sama seperti tadi, tidak ada suara yang keluar dari tenggorokannya. Akhirnya dia memilih berlari. Berlari tak tentu arah menembus kegelapan.

Entah sudah berapa lama, lelahpun menghampiri. Dariel berhenti dengan kedua tangan di paha dan nafas terengah. Pandangannya menyapu sekeliling. Sejauh mata memandang, semua hanya berupa kegelapan.

Rasanya dia ingin menyerah sekarang. Menutup mata dan membiarkan kegelapan menelannya. Tapi tidak. Aira, dirinya harus menemukan Aira. Kekasihnya itu sedang ketakutan dan membutuhkan Dariel.

Dia menegakkan tubuhnya kembali lalu mencoba melangkah. Tapi baru dua langkah, kakinya terperosok. Tubuhnya terguling ke dalam jurang yang dalam.

***

In His Arm (TAMAT)Where stories live. Discover now