Singkat, hanya kecupan sesaat lalu terlepas lagi. Reuben tidak bisa menutup mulutnya, sekujur tubuhnya merinding seketika.

Dia mendorongnya bermaksud untuk segera menjauh namun terlambat karena tangan Ben yang bebas melingkar di pinggangnya.

"Udah gak waras lo ya?! Lo sadar ngelakuin apa tadi?!" Reuben memakinya.

"Nyium lo, dan gue liat lo kurang puas."

Reuben langsung menutup mulutnya, menggelengkan kepala kuat-kuat. Ben melepaskan tangan itu, mencoba untuk menciumnya sekali lagi.

"Woah, waah, tunggu! Main nyosor aja lo!"

"Kenapa? Mulut gue bau rokok apa gimana?" Tanyanya dengan kepolosan

"Gak, gak. Cuma lo agresif banget sih."

"Oh, apa kurang lama? Pengen nambah, kan?"

Tidak ada jawaban, Reuben masih berusaha menetralkan napasnya yang memburu. Dadanya juga seperti merasa sesak bagai kurang oksigen.

Ben melepaskan tangan yang melingkari pinggang Reuben, melangkah mundur untuk sedikit menjauh.

"Kalo lo susah buat nerima ya gapapa, itu hak lo. Tapi gue gak bakal nolak perasaan gue, karena emang itu yang gue pengen."

"Lo gak masalah kalo lo udah bener-bener suka ke gue?"

"Gak masalah, bahkan setelah ciuman tadi gue semakin suka sama lo."

Selalu saja Reuben seperti merasa kalah jika mencoba menentang keinginan Ben. Dia memang tidak ingin ini terjadi, tapi tidak mau juga menolaknya.

Dia bagai ada di seutas tali dengan satu sisi yang mengarah pada Ben dan sisi lainnya mengarah pada logika pikirannya.

Jika dia memilih untuk melawan logika, tentu perjalanan ke depannya tidak akan mudah. Akan ada berbagai rintangan yang harus dihadapi. Dia tau bahwa itu tidak akan mulus, dia tau bahwa ini akan terasa berat untuk sementara waktu.

Tapi setidaknya dia memiliki Ben bersamanya.

"Kalo gitu cium gue lagi." Ben sumringah dan menyosor dengan cepat. "Tunggu kenapa! Buru-buru banget, gue tarik napas dulu."

Ben memutar matanya, menunggu Reuben yang berusaha untuk tenang. Dia mengelus dadanya sendiri dan mengangguk mantap.

"Oke, cium gue lagi."

Segera lumatan dari bibir Ben dia rasakan. Rasa lembut dan sedikit aroma mint bergumul di lidahnya. Dia bisa merasakan bibir bawahnya dijilat begitu sensual. Sempat tersentak, namun dia memejamkan mata setelahnya, menikmati tiap kecupan itu.

Ben tersenyum dibalik ciuman, merengkuh tubuh Ruben lebih erat ke pelukannya. Membiarkan kehangatan mengaliri tubuh mereka, merelakan apa yang terjadi dengan seharusnya.

Karena ini kemauan mereka, karena ini adalah harapan mereka. Bahwa bersama dan saling terikat menjadi sebuah pondasi dalam hubungan yang akan terjadi ke depannya.

•-•

Mereka bersandar pada dinding kaca dengan malam yang semakin larut, mungkin sudah dibilang pagi.

Hampir pukul empat dan mereka masih tidak beranjak. Reuben membuang pandangannya dari Ben. Setelah ciuman tadi rasa gugupnya malah semakin bertambah.

Ben kembali memantik rokoknya. Lalu menyuruh Reuben untuk melepaskan jaket yang dikenakan, karena terlihat keringat di kening dan lehernya.

"Udah mendingan badan lo?"

Dia mengangguk samar. "Ya, lumayan. Udah gak lemes lagi sih. Malah sekarang susah napas kayanya." Desis Reuben.

Ben terkekeh, mengacak surai legam Reuben yang kali ini tidak dikomentari "Foto yuk." Dia mengeluarkan ponselnya. "Nih, foto kita pake hp gue."

Reuben mengernyit. "Buat apaan?"

"Buat gue cetak terus taro di belakang rumah untuk nakut-nakutin tikus yang mau masuk." Jawabnya asal. "Ya buat gue simpen."

"Sini." Reuben mencibir namun tetap melakukan apa yang diperintahkan.

"Kalo gue jadiin wallpaper gimana?" Cengir Ben meminta persetujuan

Oups ! Cette image n'est pas conforme à nos directives de contenu. Afin de continuer la publication, veuillez la retirer ou télécharger une autre image.

"Kalo gue jadiin wallpaper gimana?" Cengir Ben meminta persetujuan.

"Gue tampol lo ya, gak usah aneh-aneh."

Reuben akan berusaha untuk lebih terbiasa dengan gaya Ben yang baru diketahuinya ini. Dia jadi senang menggoda agar dirinya tersipu walau selalu saja dibantahkan, meskipun di dalam hatinya dia sudah teriak.

Bukan teriak senang, tapi teriak untuk menghentikan itu. Dirinya jadi seperti perempuan yang sedang dirayu.

Ben senyum-senyum sendiri melihat hasil fotonya. Ini baru sekali mereka foto bersama, bagaimana jika berkali-kali? Mungkin dia bisa sembah sujud ke ponselnya.

"Gue kena pembengkakan otak." Ben menoleh ketika Reuben berbicara. "Lo selalu penasaran sama penyakit gue, kan?"

•-•

Udah seneng liat mereka manis begitu, bahkan sampe cium segala, eh di akhirnya malah dapet berita buruk ya 😂😏

Waktu itu ada yang nebak Reuben kena kanker otak, hebat juga bisa tau. Padahal gue sama sekali gak menyinggung ke arah sana.

Buat kalian yang khawatir ini sad ending, hmm gimana ya. Liat nanti aja deh akhir ceritanya gue gak mau kasih clue biar pada penasaran aja.

Ps: foto itu sebenernya asal nemu aja di pinterest, diliat dari mukanya cocok aja sih menurut gue. Tapi gue gak memvisualkan mereka begitu secara keseluruhan. Kalian bayangin aja sesuai imajinasi kalian dan anggap Ben & Reuben foto begitu.

Sawala [1]Où les histoires vivent. Découvrez maintenant