Sabar

17.1K 2.4K 146
                                    

"Tiba-tiba gerah nih kantin." Timur mengibaskan kerah seragamnya.

Kedua anak manusia yang masih saling bersitatap ini mampu memberikan kecanggungan bagi orang-orang di sekitarnya. Tidak ada yang mau mengalah untuk membuang pandangan, namun tidak ada juga yang berbicara.

Mereka sibuk dengan rokok masing-masing, mengepulkan asapnya ke udara bebas. Beberapa penghuni kantin memilih keluar daripada harus terjebak di suasana yang tidak nyaman ini.

"Cuy, main bola aja yuk. Butuh olahraga nih badan." Timur pun tidak mampu jika harus berdiam diri disini.

Akhirnya dia mengajak teman-teman yang lainnya untuk segera pergi. Masih tersisa beberapa murid yang tidak mau rugi meninggalkan makanan mereka, ada juga yang memang sengaja ingin menonton.

Ben menginjak puntung rokoknya yang tersisa sedikit. Memasukan kedua tangan ke dalam saku jaket kumalnya. Lalu dia berdiri dengan masih menatap tajam.

"Gak ada di bayangan gue sedikit pun buat bertemen baik sama lo. Dari awal kita udah gak akur, jadi jangan coba buat sok akrab. Karena gak akan ada untungnya buat kita berdua."

Kaki Ben ingin melangkah meninggalkan tempat namun Reuben berbicara hingga dia sempat berhenti.

"Ternyata emang kita gak cocok buat temenan. Gue juga gak mungkin sanggup deket-deket sama orang yang keras kepala dan emosian kaya lo." Reuben ikut berdiri dan mensejajarkan dirinya dengan Ben.

"Gue sempet ngira kalo lo punya cara berpikir yang dewasa. Lo bisa berbuat baik tanpa terpaksa, tapi ternyata gue salah." Lanjutnya.

Kembali sikap Reuben yang terus membicarakan kekurangan Ben membuat situasi semakin berbahaya. Antara dia senang memancing keributan atau memang dia ingin orang seperti Ben berhenti bertindak sesukanya.

Tidak ada yang mengerti kenapa Reuben masih saja menentang kelakuan buruk Ben, padahal murid-murid lain sudah bodo amat bahkan menyerah dan membiarkan apa yang dia mau.

GREP!

Ben menarik kerah seragam Reuben. "Berhenti buat ngoceh, bisa? Jangan ganggu seakan perbuatan gue ngerugiin buat lo. Apa yang gue lakuin gak akan bikin lo mati, kan? Jadi mending diem dan gak usah buat masalah."

"Bukannya lo yang buat masalah? Gue bakal diem kalo orang konyol kaya lo ini juga diem dan jadi murid yang bener."

"Lo cari perhatian sama gue, hah? Masih banyak murid badung disini selain gue. Lo bisa hajar mereka satu-satu tanpa perlawanan, kenapa harus repot-repot ke gue? Lo tau gue gak bakal nurut segampang itu."

Reuben menarik senyum dari sudut bibirnya. "Gue suka tantangan, gue suka selesain masalah yang susah lebih dulu."

BUG!

Jawaban Reuben yang terdengar seperti mencari ribut bersambut dengan tendangan telak di perutnya.

Ben tidak akan bisa bersabar untuk waktu yang lama jika berbicara dengan pria ini. Dia hanya perlu memberikan tendangannya saja. Agar mulutnya yang berkoar itu dapat berhenti.

Namun nyatanya Reuben malah tertawa. "Apa gue bilang? Emosi lo itu selalu di luar kontrol, Ben. Lo pikir gue bakal diem dengan lo ngehajar gue?"

"Gue gak tau apa tujuan lo yang terus bikin hidup gue gak tenang. Sekarang gue yakin masalah lo bukan cuma soal kursi yang jadi rebutan kita di hari pertama ketemu."

"Jangan bersikap seakan lo yang megang sekolah ini. Kelakuan lo nunjukin seakan lo orang paling penting buat sekolah, gue tau itu emang bener. Tapi lo tanpa Bokap lo juga bukan apa-apa, Ben."

Sawala [1]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang