Jadi terima saja, kalau suka ya bilang, kalau tidak ya tunggu saja sampai suka. Karena mereka sudah sedekat ini, manusia manapun kalo sudah akrab dan pegang-pegang pasti tinggal menunggu waktu.

"Lo kenapa kaya kebakaran jenggot gitu sih? Santai aja kali, kalo lo suka ke gue ya gapapa. Selama ini kita banyak ngabisin waktu bareng, jadi gue ngerti kalo lo punya perasaan itu."

"Kok malah jadi kaya gue yang dipaksa jujur ya. Gue kan, pengennya lo yang ngomong."

"Tadi gue mau ngomong malah lo potong."

Reuben makin tidak bisa menahan degupan pada jantungnya. "Udah deh gak usah bahas."

Ben ingin terbahak saja melihat Reuben yang menundukan kepala untuk menghindari rasa gelisahnya. Bahkan dia memainkan sepatunya, menggesek-gesek di lantai.

Dia menghampiri, mendekatinya lalu menarik tangan Reuben yang tentu langsung ditepis.

"Wets! Lo- lo mau ngapain?" Reuben sudah menunjukan wajah takut.

"Cuma megang doang, emang gue banyak kumannya apa sampe kaya jijik gitu."

Reuben menggaruk pipinya, dia tidak tau harus bersikap apa disaat seperti ini. Mau lari saja juga tidak mungkin. Bagaimana dia bisa pulang nanti, ini jauh dari rumah, angkutan umum juga tidak ada.

Kembali Ben menyentuhnya, kali ini lengan Reuben ditariknya. Menyuruhnya agar lebih mendekat padanya.

"Gugup ya?" Tanya Ben sembari terkekeh. "Dibawa tenang aja kenapa sih, biasanya lo juga gak begini."

"Ya kita habis bahas hal yang gak seharusnya. Lo kenapa bisa bodo amat, sih?"

"Karena gue gak ambil pusing. Lo suka gue? Oke, bagus malah. Gue juga udah mulai suka sama lo, jadi kita sama-sama suka, sama-sama untung, kan?"

Ben mendesah membuang napasnya, berusaha mengangkat wajah Reuben dengan menyentuh dagunya. Dia tidak mungkin terus-terusan bicara dengan ubun-ubun kepala.

"Nih, yang kaya gini bikin perasaan gue makin gak karuan, ngerti gak? Jantung gue udah kaya mau meledak, bisa gila gue!"

Ben tertawa. "Yaudah terima aja, emang mau diapain lagi? Kita udah saling kasih tau apa yang dirasa, terus masa mau menghindar?"

"Bu- bukan gitu maksud gue. Kita lupain aja, coba buat berhenti sebelum makin jauh."

"Ya gue gak mau, gue udah enak dengan kita yang deket dan akrab begini. Gak mungkin tiba-tiba gue jauhin lo lagi."

"Gak perlu dijauhin, ya coba buat dihilangin."

"Mana bisa, lo suka sama orang, lo sayang sama orang. Gak mungkin bisa ilang gitu aja."

Reuben tidak ingin terbuka mengakui bahwa dirinya tidak ingin Ben pergi dari hidupnya. Dia sudah merasa bahwa dirinya bergantung pada pria ini.

Ben pun tidak ingin begitu saja menghindar dari Reuben. Dia selalu senang berada di dekatnya, walau hari-hari mereka selalu diisi dengan debat berkepanjangan. Namun itu yang selalu dia rindukan.

"Tapi ini gak bener, lo paham gak? Gue gak bisa, Ben, serius."

Tidak mengindahkan ucapan Reuben, jemari Ben yang sedari tadi menjepit dagunya, ditarik begitu saja hingga permukaan bibir mereka saling bertemu satu sama lain.

Sawala [1]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang