MENURUT NGANA? HARUS SEDIH ATAU BAHAGIA?

973 114 5
                                    

Tangan kiriku masih sakit, namun aku tetap mengikuti mata kuliah studio pagi ini. Kelas akan selesai pada pukul 3 sore nanti. Rura yang duduk di sampingku tengah focus mengerjakan tugasnya. Sedangkan aku sedikit kesusahan menggunakan satu tangan.

"Mau di bantuin nggak Ra?

"Nggak, belum butuh banget tuh," jawabku.

Rura, Airula Raharja hampir setiap semester mengambil mata kuliah dengan kelas yang sama denganku, bahkan Rura selama tanganku sakit membantu mengerjakan beberapa tugas studio. Cowok ini salah satu pelanggan setia Next Café.

Kami sibuk dengan tugas masing-masing, dan tidak menyadari kalau waktu di studio hampir selesai. Rura bahkan sudah memasukkan barang-barangnya ke dalam tas.

"Laptopmu jadinya ganti Ru?"

"Iya, yang waktu itu rusak nggak bisa di perbaiki sama sekali."

"Yah, sayang banget Ru. Untuk beberapa file mu bisa di selamatkan,"

"Iya Ra, makanya itu. Eh gue duluan ya?" aku mengangguk menanggapi.

Setelah berpisah dengan Rura aku berniat mencari makanan ke food court di lantai bawah. Saat aku akan duduk di bangku paling pojok Bening datang menghampiriku, firasatku mengatakan kalau akan ada drama.

"Rala?"

"Gausah sok kaget gitu, bukanya kamu bukan salah satu mahasiswa di kampus ini? Kalo aku nggak salah ingat sih."

Dia mendengus, "Mau gue, peringatkan kaya gimana lagi sih?" ucapnya.

"Cowokmu aja yang terobsesi sama aku," jawabku santai.

"Lo," tangannya mengacung kearahku, "jangan sok merasa cantik deh."

"Haha, sebenarnya hubungannya sama cantik apaan deh?" tanyaku, dengan tangan sibuk menyalakan rokok.

"Susah bener ya, ngomong sama orang susah." Aku tertawa menanggapi dan menghembuskan asap rokok ke depan muka Bening, "Terus?" tanyaku menantang.

Bening sepertinya sangat kesal, ia berjalan meninggalkanku dengan bibir komat-kamit. Aku tertawa keras mengiringi kepergianya. "Terus salahku?" tanyaku lebih ke diri sendiri.

"Bukan sih, salah siapa cari rebut sama Rala," ucapanya membuatku menoleh ke arahnya,

"Loh? Kok kesini lagi, katanya tadi duluan?"

"Enggak sengaja lihat kamu sendirian sih, gue samperin aja sekalian."

"Gitu?"

"Siniin rokok lo," Rura berusaha merebut rokok di tanganku.

"Buat?" tanyaku heran. Rura merebut rokok di tanganku dan menghisapnya pelan lalu membuangnya.

"Nggak baik buat Kesehatan Ra."

"Lah sendirinya aja barusan ngerokok."

"Tapi gue bukan perokok ya," elaknya.

"Terserah masnya aja deh!" ucapku.

"Udah pesen makanan belum?"

"Apakah kamu melihat sesuatu di meja ini?" tanyaku.

Rura tertawa menanggapi dan berjalan menuju stand makanan. Ia Kembali membawa dua mangkuk mie ayam. "Bisa makan pakai satu tangan nggak?" tanyanya dengan senyuman meledek.

"Bisalah, apa sih yang nggak aku bisa," jawabku setengah bercanda.

"Kalo move on udah bisa?"

"Wah kalo itu sih, gimana ya jelasinya." Rura tertawa menanggapi celotehanku. Tanganya yang tanpa akhlak mengusap kepalaku pelan.

"Gemesin banget, si Ra." Tubuhku meremang, "Rura sialan!" Umpatku dalam hati.

Ken datang bersama gerombolanya, A.K.A Kiky and the gengs. "Weis Rura ngapain nih di sini," Tanya Pipin.

"Lo liat gue lagi ngapain emangnya?" Tanya Rura menantang.

"Udah, udah. Gue pinjem Ralanya boleh ya Ru?"

"Kalo Rala mau ya silahkan, apa lo bilang barusan? Pinjem? Rala bukan barang kali," Nyinyir Rura dengan muka? Badmood.

"Oke, yuk Ra?" ajak Ken.

Aku mengernyit heran, "Mau kemana emangnya?"

"Ya muter-muter aja."

"Kalo belum ada tujuan jelas, menurut gue kok mending gausah ya?"

"Heh Rura, gue nggak butuh pendapat lo."

Aku akhirnya mengikuti Ken menuju parkiran motor. Pagi tadi aku di jemput Rura untuk berangkat ke kampus. "Naik motor nggak papa kan Ra?"

"Santai, kali kak."

Ken memberiku helm, "Eh bisa masang sendiri nggak?"

Aku tersenyum, "Bisa sih kayanya," ucapku ragu. Ken pun memasangkan Helm ke kepalaku.

"Kita mampir ke Titik Temu dulu ya?"

"Hah? Apa kak nggak denger," ucapku.

"KITA MAMPIR KE TITIK TEMU DULU YA!"

"OH BOLEH KAK!"

"LO ADA ACARA LAGI NGGAK SETELAH INI?"

"NGGAK ADA SIH KAK."

"OKE, BERARTI FREE YA SETELAH INI?"

"HOOH, KAK."

Aku tak sengaja melihat ke arah pengendara motor yang  sedang menunggu lampu merah, aku melirik Ken dan kami tertawa setelahnya. Pengendara motor di samping kami, melihat ke arah kami tatapanya seolah-olah mengatakan, "Berisik banget sih?"

Sesampainya di Titik Temu, kami memesan makanan dan berjalan ke meja yang di pilih Ken. Suasana di Titik Temu ini sangat nyaman.

"Gue mau ngomong jujur ke, lo Ra."

"Silahkan, kak."

"Lo sebenarnya udah move on dari Hessa belum?"

"Haha pertanyaanmu berfaedah sekali, kak."

"Ra? Gue tanya serius, sekarang!" muka Ken sedikit frustasi?

"Nggak ada urusanya sama kakak ya!"

"Ada, gue suka sama lo. Dari jaman lo masih sama Hessa."

"Hah? Gimana maksudnya?"

"Gue, gaperlu kan jelasin ulang? Lo pasti udah paham maksudnya."

"No comment deh aku," ucapku frustasi.

"Ga perlu di bales kok, gue Cuma berusaha jujur sama perasaan gue aja."

Kami terdiam cukup lama, "Hey Ra? Santai aja kali. Gausah terlalu di pikirin."

"Kayanya aku nggak mikirin itu sih kak," aku berusaha mencairkan suasana. Gila sih canggung banget, aku yakin daun pohon di tengah-tengah café ini pun juga takut mau gerak.

"Kirain, soalnya lo tiba-tiba diem."

"Haha, nggak kok. Tapi, sorry banget ya kak. Aku belum punya jawaban soal itu, jujur masih kaget banget."

"Santai Ra, lo gaperlu mengkhawatirkan perasaan gue. Perasaan gue urusan gue, kalopun sampai akhir nanti lo nggak memilih gue, its fine, kok."

"Makasih kak," ucapku tulus yang hanya di tanggapi senyuman. Aku gabisa menebak pikiran Ken saat ini, dari ekspresinya tidak menunjukkan apapun.

"Tapi kalo misal lo suka sama gue, bilang aja. Kalo malu ya tinggal chat gue Ra." Aku memukul bahunya pelan, dan dia Kembali tertawa. 

INDECISIVE (Revisi)Where stories live. Discover now