10 (New Version)

1.4K 80 0
                                    

Aku terbiasa hidup dengan menanggung rasa sakit. Luka dan penderitaan adalah nama tengahku. Jika kamu berada pada radiusku... Aku takut. Nantinya, penyakit ini akan menular, padamu. Kamu... Satu-satunya orang terakhir yang tak kuharapkan merasakannya.

- Lelaki yang Bisa Kamu Sebut 'Ashton'

******

Sebelum baca ini, Grace mau ngucapin selamat datang bulan Ramadhan 🙆💖💕

Selamat sahur, selamat puasa, selamat berbuka puasa... Buat kalian semua yang lagi baca AWB 😻😆🐭

Laff U~~~

******

"Oh, Ashton. Apa yang sebenarnya terjadi padamu?"

Itu adalah perkataan terakhirku sebelum kurasakan tangannya bergerak pelan. Sangat pelan sampai aku tak bisa merasakan bahwa kesadarannya mulai kembali. Selanjutnya ia memandangku lemah dengan sorot mata tajam seakan-akan menghunusku sampai ke dasar jurang.

Untuk beberapa detik aku tak tahu harus melakukan apa dihadapannya. Tatapan itu... Membekukan segala sarafku. Menghentikan kinerja otakku, seolah segalanya hanya terpusat pada satu titik, yakni dirinya seorang. Awalnya senyap, namun lama baru kusadari satu hal, ruangan ini terisi oleh suara tangisanku yang terdengar memilukan bahkan bagi telingaku sendiri. Entah mengapa melihatnya yang terbaring lemah seperti ini seakan menyerap seluruh jiwaku. Resah dan gelisah bersarang dalam benakku. Ia memberi efek yang luar biasa padaku. Kekalutan yang baru pertama ini kurasakan seumur hidupku.

Tangan kami saling bertautan. Rasa hangat dari genggaman tangannya tak kuasa menenangkanku. Begitu juga dengan tatapan tajamnya yang sedari tadi membuatku salah tingkah. Tajam setajam mata elang itu membuat alam bawah sadarku ketakutan. Aku tak tahu apa yang membuatnya menatapku sedemikian hingga, satu yang pasti, perasaanku mengatakan bahwa ini semua tidaklah baik untuk diteruskan begitu saja.

Aku harus menghentikan gejolak hatiku yang terus berspekulasi negatif tentang betapa menegangkannya suasana kali ini. Dengan diriku yang masih setia menangis sesenggukan ditengah ruang rawat inap Ashton yang sesak akan kesunyian. Aku tak tahu harus memulai percakapan dari mana, bahkan kedua pipiku mulai memerah karena terlalu lama menangis.

Aku tahu walau ia hanya diam saja, sebenarnya ia juga khawatir terhadapku. Sangat terlihat jelas dari ekspresi bekunya yang sarat akan makna. Bahkan dalam diam pun aku tahu ia peduli padaku. Namun entahlah, ia malas bersuara atau aku yang terlalu banyak berharap ia akan menenangkanku dengan perkataannya.

Aku berdehem pelan sebelum akhirnya berkata, "Ashton-" namun setelah mencoba keras, mulutku hanya sanggup menyuarakan namanya. Sementara air mata terus menerus berjatuhan semakin lama kian menganak sungai.

"Jadi, bagaimana bisa ini semua terjadi?" ucapanku membuatnya sedikit menyatukan kedua alisnya. Namun hanya seperdekian detik perubahan ekspresi lelaki itu terjadi, detik selanjutnya hanya raut wajah beku yang terlihat. Ya, kembalu beku. Menjadi keras tak tersentuh.

Ada apa ini?

Kenapa ia menunjukkan ekspresi itu dihadapanku?

Apakah aku terlalu melewati batas?

Jika ya, maka aku tak tahu lagi harus bagaimana. Sementara aku sendiri tak paham batasan mana yang sudah ia tetapkan untukku. Aku tahu perkenalan kami sangatlah singkat, namun anehnya perasaan khawatir yang kumiliki terhadapnya membuncah semakin besar. Tidak jelas. Tidak wajar, karena sewajarnya aku tak perlu meneteskan air mata untuk seseorang yang baru saja kukenal.

Pemikiran itu sekaligus membuatku berpikir keras. Hingga tanpa sadar bahwa ia mulai bersuara, "aku baik-baik saja, Aleyna. Kau tidak perlu khawatir." Hatiku bergetar ringan. Seperti ada aliran listrik statis yang merambat didalamnya. Oh, syukurlah. Ia baik-baik saja. Setidaknya ia bersuara walau tidak sepenuhnya menjawab pertanyaanku. Karena aku tak mampu lagi bersuara.

"Aku akan pergi, beristirahatlah Ashton. Aku tak mau mengganggumu disini." ucapku dengan menahan tetesan air mata yang siap meluncur deras. Tertahan di kedua pelupuk mataku tanpa sanggup terjatuh bebas. Langkahku mulai jauh pergi meninggalkannya, kala sebuah suara datang dan memecah anganku tentang kebekuan suasana ini.

"Tetaplah disini, Aleyna." Itu perintah. Suara tegas penuh dominasinya menghentak alam bawah sadarku. Sekali lagi, efek lelaki itu memberikan kuasa luar biasa pada detak jantungku. Sampai terasa menyakitkan. Iramanya keras dan kencang. Sampai aku takut jika ia bisa mendengar detaknya walau aku tahu itu semua mustahil untuk bisa terjadi.

Aku berhenti tidak jauh dari bangkar ranjangnya berada. Menanti suara darinya yang kupikir akan ia ucapkan padaku. Namun tidak. Setelah beberapa detik yang terasa berjam-jam bagiku ia tak kunjung bersuara. Membuat kernyitan halus timbul disepanjang dahi wajahku.

Apa perkataannya itu hanya imajinasiku? Tapi aku yakin jika apa yang ia katakan tadi seratus persen nyata adanya. Lantas ada apa dengan suasana ini? Kediaman penuh dengan kesunyian ini terasa menakutkan. Sedikit bergetar tubuhku kala batas kemampuanku untuk berdiri di tengah ruangan ini hampir habis tak bersisa. Kedua kakiku lelah menopang, begitu juga dengan tanganku yang terasa kebas untuk bisa kugunakan secara layak lagi. Seandainya saja ia tak bersuara di detik selanjutnya, bisa dipastikan tubuhku akan jatuh tersungkur diatas lantai dingin dengan membawa sejuta rasa khawatir yang tak bisa tersampaikan dengan utuh.

Lantas ia bersuara, "temani aku," suaranya terdengar berbeda dari sebelumnya.

Lirih, sarat akan kelemahan. Dengan segera kubalikkan tubuhku, menghadapnya yang memandangku hangat. Kali ini, semuanya berbeda. Raut wajah, perasaanku dan perasaannya, suasana disekitar sudah berganti.

"Aku tidak mau sendirian, Aleyna." Sekali lagi ia menyuarakan keinginannya dan tanpa perlu komando lagi, aku melangkahkan kakiku segera mendekat padanya.

"Ashton, aku akan selalu menemanimu. Tenang saja. Sekarang beristirahatlah, lukamu sangat banyak. Aku yakin kamu merasa sangat kesakitan saat ini," aku duduk tepat disamping bangkarnya berada. Menatap netranya yang juga saling berpadu menatapku dalam.

"Berjanjilah jangan pernah meninggalkanku. Apapun yang terjadi."

"Ya, tentu saja. Aku berjanji," sedikit mengerutkan kening akibat permintaannya yang terdengar sedikit aneh ditelingaku. Detak jantungku berpacu cepat kala tangan kekar tapi halus miliknya sudah menggenggam erat kedua tanganku. Erat, seakan tak mau melepaskanku barang sedetik. Aku kaget, tentu saja. Terlebih melihat kedua matanya sudah tertutup, damai. Ia tertidur. Lelap. Sangat lelap sampai aku tak menyadari bahwa senyuman samar kuberikan akibat melihat posisi tidurnya yang lucu. Menyamping ke arahku seakan dalam tidur ia tetap mengawasiku agar tak pergi dari sisinya. Dengan elusan yang kuberikan pada genggamannya, kusalurkan nyanyian penghantar tidur yang samar dari mulutku.

Ia semakin terlelap.

Terlihat jelas dari seutas senyuman yang membingkai indah kedua sudut bibirnya.

[MWS:1] A Werewolf Boy (New Version) Where stories live. Discover now