9 (New Version)

8.1K 583 8
                                    

Langkah kakiku menghentak-hentak diatas lantai marmer dengan diiringi suara tangisanku juga darah dari segerombolan lelaki yang ada dibarisan depan dan belakangku. Vien ada didepan sementara Tera dan Dena berada disampingku menyamakan langkah lariku. Bisa dibilang aku berada ditengah dari segerombolan barisan ini. Diapit diantara tengah-tengahnya dengan ekspresi menunjukkan suatu hal yang sama.

Kesedihan.

Aku tak kuasa menahan tangis saat kutahu Ashton dalam bahaya. Keadaannya kritis. Hanya butuh dua kalimat itu yang membuatku mampu menangis tersedu-sedu tanpa tahu bagaimana semua ini bisa terjadi. Bagaimana Ashton dalam keadaan kristis sementara yang kutahu baru beberapa jam lalu aku bersamanya.

Tak perlu bertanya banyak pertanyaan untuk bisa merasakan perasaan khawatir pada orang lain. Karena jika kita telah mengenal seseorang terlebih dirinya yang telah memberikan banyak pengaruh pada hidup kita, maka hanya tinggal menunggu waktu yang tepat untuk mengungkapkan rasa pada sosok itu. Rasa apa? Ah, tentu saja kasih sayang.

Tak banyak manusia yang kukenal didunia ini. Namun bagiku, entah mengapa Ashton adalah sosok yang memegang peranan penting itu. Seakan ialah yang membawa kunci kehidupanku. Mengenyampingkan perasaan bersalah yang bercokol dalam hati, tak mau Ashton melihatku menangis, dengan segera kuusap kasar air mata yang turun membasahi wajahku.

Kulihat gerombolan lelaki yang sebelumnya memimpin jalan menuju ruang rawat inap tempat Ashton dirawat, berhenti disebuah lorong. Ya, lorong besar yang lebih mirip rumah sakit kecil bagiku. Karena di lorong ini terdapat berbagai macam ruangan dengan alat-alat medis tersendiri. Aku menduga bahwa rumah ini menyimpan banyak sekali tempat-tempat 'aneh' dan unik lainnya. Well, bagaimana bisa sebuah 'rumah' menyimpan tempat medis sebesar ini didalamnya? Pertanyaan dalam logikaku kian membuat kepalaku pening.

Aku tercengang ketika melihat sekitar 5 orang dengan pakaian medis operasi keluar dari sebuah ruangan paling ujung. Seketika itu langkahku melebar, setengah berlari bahkan menebus gerombolan lelaki didepanku. Mereka terlalu lambat. Aku tak bisa menunggu barang sedetik saja untuk bisa mendengar kabar terkini tentang keadaan Ashton. Kudengar suara tapak kaki dari arah belakangku. Nampaknya mereka turut menyeimbangkan langkah lariku. Sehingga tampaklah seperti aku yang memimpin jalan, sementara gerombolan itu, mereka tepat berada dibelakangku.

Aku tahu disanalah Ashton berada. Persepsiku semakin diperkuat dengan adanya seorang dokter yang membuka masker hasil operasinya, berdiri menunggu kami didepan ruang operasi itu. Sementara empat orang dokter lainnya berdiri dibelakangnya.

"Dokter..." napasku naik turun. Terdengar berantakan. Namun aku tak peduli. Keadaan Ashton jauh lebih berharga bagiku.

"Bagaimana keadaan Ashton?" Kulihat lelaki berperawakan tinggi dengan gurat lelah namun tetap menampilkan senyuman itu, sedikit mengerutkan dahi bingung. Ah, aku tahu. Pasti karena panggilanku terhadap pasien yang tidak ia kenali dengan sosok lelaki bernama Ashton.

"Maksudku... Dia-" ia memotong ucapanku dengan perkataannya yang sukses membuat tubuhku berhenti mengalirkan darah seketika.

"Nona, tuan Black baik-baik saja."

Jadi... Black yaa?

Nama itu terdengar... Cukup asing ditelingaku.

Seketika kesedihan meliputi perasaanku kala kutahu keduanya mungkin saja merupakan sosok yang berbeda.

Bisa saja nama itu merupakan nama 'samaran' yang ia gunakan entah sebagai apa. Batinku menolak fakta bahwa lelaki itu bukanlah benar-benar sosok Ashton yang kukenal.

"Ah, ya... Syukurlah." tubuhku tremor hebat. Hembusan napasku kian cepat tak beraturan. Kakiku tanpa sadar menyeret serta tubuhku mendekati ruangan itu. Ingin sekali berada disamping Ashton dan memastikan ia baik-baik saja.

Jantungku berpacu cepat. Kala sosok yang samar kulihat terbaring tak sadarkan diri itu, memang benar dirinya, lelaki yang sebelumnya menemuiku dan membuat detak jantungku menjadi bertalu-talu hebat. Ia, Ashton.

"Ashton..." lirihku tanpa sadar menyeret serta namanya. Alam bawah sadarku penuh tanya, apa sebenarnya yang membuat ia berakhir dengan banyak luka ditubuh seperti ini?

"Anda bisa masuk kedalam nona. Keadaan Tuan Ashton memang belum sadar, tapi ia telah melewati masa kritisnya. Nona bisa menemani Tuan didalam." salah satu dokter lainnya bersuara dengan tegas. Tanpa sadar, seakan jantungku berhenti berdetak kala kudengar perkataan dokter selanjutnya tentang Ashton.

"Namun tolong berhati-hati dengan luka cakaran yang berada di perut dan lengan kanan tuan, nona. Luka tersebut masih belum kering dan sangat berbahaya jika tersentuh tangan langsung."

Luka cakaran...

Cakar...

Apa yang telah Ashton perbuat sampai ia mendapatkan banyak luka cakar itu?

Tidak mungkin ia berkelahi dengan hewan liar 'kan?

Hewan apa yang mempunyai kemungkinan besar berhubungan dengan Ashton dan berakibat ia mempunyai semua luka-luka itu?

Bulu romanku berdiri seketika. Hatiku terlalu gusar dengan semua kemungkinan terburuk yang ada. Aku sangat ketakutan. Aku takut melihat keadaan Ashton yang bisa saja lebih buruk dari yang kubayangkan saat ini. Sudut kecil hatiku berharap ia baik-baik saja.

"Apa nona baik-baik saja?"

"Nona bisa masuk menemui tuan sekarang."

"Apakah nona butuh kami temani?"

Aku tak bisa menebak siapa yang berbicara. Namun aku tahu itu semua suara Videra. Aku terlalu sibuk berkutat dengan segala pemikiranku sendiri. Tanpa sadar bahwa dokter telah membukakan pintu agar aku segera memasuki ruangan.

"Aku baik-baik saja. Aku akan masuk. Sendirian." Tak bisa kututup-tutupi nada suaraku yang bergetar hebat. Juga kurasakan bobot tubuhku yang seringan kapas tiap melangkah. Kepalaku terasa kian berputar, memberat. Dengan tertatih-tatih, aku telah memasuki ruang intensi yang Ashton gunakan.

Menghela napas berkali-kali guna menetralkan detak jantungku yang bertalu-talu didalam sana. Aku tak mau menemui Ashton dalam keadaan tubuhku yang kurang terkendali seperti ini. Aku takut membuat ia khawatir meski ia masih berada di ambang batas kesadarannya. Juga aku tak mau kehilangan kendali seperti menangis meraung-raung. Itu semua hanya akan semakin memperburuk keadaannya.

Kuambil langkah perlahan menuju bangkar pasien yang seperti berada di Rumah Sakit itu. Walau sebenarnya kutahu semuanya ini miliknya. Namun tetap saja, dekorasi ruangan ini mengingatkanku akan hospital. Tempat dimana orsng-orang sakit berada. Aku sangat membenci tempat itu. Mengapa? Entahlah. Hanya dengan mendengar kata itu membuat sedikit banyak gejolak dalam hatiku bergetar dengan rasa yang teramat janggal.

"Ashton..."

Suaraku tercekat dalam. Mengambang di udara. Senyap. Sepi. Hanya ada keheningan. Kulihat beberapa luka yang tak bisa tertutupi dengan baik di tubuhnya. Membuat luka menganga baru dalam hatiku.

Itu pasti... Terasa sangat sakit.

"Oh Ashton, apa yang sebenarnya terjadi padamu?" tanpa sadar aku terisak pelan.

Itu adalah perkataan terakhirku sebelum kurasakan tangannya bergerak pelan. Sangat pelan sampai aku tak bisa merasakan bahwa kesadarannya mulai kembali. Selanjutnya ia memandangku lemah dengan sorot mata tajam miliknya yang seakan-akan menghunusku sampai ke dasar jurang.

~~~~

Jangan lupa untuk tekan bintang di pojok kanan bawah dan ketikkan sepatah dua patah kata sebagai apresiasi terhadap karya ini. Terima kasih - Gracesar34

[MWS:1] A Werewolf Boy (New Version) Where stories live. Discover now