(1) Tetangga Baru

417 33 0
                                    

"Aku disini saja."
"Yakin nggak diantar masuk ke dalam nih?" tanya Desti yang juga diiyakan teman-temannya.
"Ngg... Nggak usah. Sore ini aku mau jalan kaki ke rumah. Hitung-hitung olahraga. Lagipula nanti mobil Rian susah keluar, soalnya jalanan makin sempit karena banyak mobil terparkir," kata Sarah sambil melihat Rian dan teman-temanya bergantian.

Mereka lalu mengangguk tanda mengerti. Rian lalu keluar dari mobilnya untuk membukakan pintu bagi Sarah. Desti dan yang lain tampak berbisik sambil bersorak kecil melihat adegan romantis dua manusia di depannya.

"Hati-hati ya, sayang,"
Sarah mengangguk pada Rian sambil tersenyum singkat.

"Duluan ya teman-teman. Bye !"
"Bye !"
Sarah melambaikan tangan begitu mobil Rian mulai melaju. Senyumnya merekah mengingat betapa hebohnya teman-temannya minta ikut di mobil Rian yang baru.

Ia mulai melangkah begitu mobil Rian tidak terlihat lagi. Hembusan angin sore menerbangkan rambut hitamnya dan rok abu-abunya.

Sesekali ia melemparkan senyum pada orang yang menyapanya. Rasanya sudah lama sekali ia tidak jalan kaki seperti ini. Biasanya Rian mengantarnya dengan sepeda motor sampai ke depan rumahnya.

Matanya menghitung jumlah mobil yang terparkir di sepanjang jalan. Entah sejak kapan mobil-mobil ini menghiasi jalan yang memang tidak terlalu luas. Mungkin saja ekonomi masyarakat sekitar sini sudah meningkat sehingga mereka bisa membeli mobil.

Langkahnya berhenti di samping sebuah rumah kosong. Sambil tersenyum, Sarah merapikan rambutnya di kaca rumah kosong itu. Setelah merasa rapi dan cantik, ia segera melangkah ke rumahnya yang berada tepat di samping rumah kosong itu.

"Mama !"

Sarah berusaha mengagetkan Mamanya yang tengah asyik memasak di dapur. Mama yang telah terbiasa dengan sikap anak bungsunya terlihat tenang tanpa terusik.

"Mama masak apa ?" tanyanya seraya menyalakan televisi dan merebahkan diri di sofa depan TV.
"Kamu mandi dulu sana ! Masih pakai baju seragam juga," ujar Mama tanpa melepaskan perhatiannya pada irisan daun seledri.
"Kak Mona mau datang ya ?"
Jari-jari Sarah menekan tombol remote dengan cepat mencari acara TV yang ia sukai.
"Bukan,"
"Atau Kak Andri?"
"Bukan juga,"
"Jadi mama masak banyak untuk siapa ?" tanya Sarah yang bingung melihat Mama memasak makanan dalam jumlah dan jenis yang beragam.
"Ada deh. Ini untuk orang spesial yang akan datang hari ini. Sudah, kamu ganti baju dulu sana. Setelah itu mandi sebelum kemalaman. Badan kamu juga bau keringat itu."
Mama menunggu reaksi dari Sarah.

Setelah beberapa menit tidak ada respon, Mama menghampirinya. Mama hanya bisa menghembuskan nafas berat begitu mendapati putrinya telah tertidur pulas.

***

Sarah menggeliat seraya berusaha membuka kelopak matanya. Jam berapa ini ? Perlahan ia membuka matanya dan melihat jam tangannya. Jam tujuh lewat. Ia menguap lebar-lebar. Matanya mengamati seluruh ruangan yang kini senyap. Seragam sekolahnya masih melekat ditubuhnya dengan aroma parfum yang bercampur keringat. Ia menyusuri ruangan mencari Mamanya.

Perhatiannya tertuju pada stick note yang ditempel di kulkas.

Mama pergi ke rumah sebelah.
Kalau mau menyusul Mama, mandi dulu.

Sarah kembali menguap.
"Rumah sebelah ? Rumah kosong maksudnya? Ada tetangga baru ternyata, " batinnya.

Ia mengangkat bahu sambil menyambar handuk putih miliknya. Sesaat ia mencium bau tubuhnya sebelum akhirnya masuk ke dalam kamar mandi.

*****

Malam ini adalah malam minggu. Malam yang kata orang malam panjang, tapi bagi Sarah malam ini sama saja dengan malam yang lain. Sama-sama gelap, tak ada matahari.

Untuk malam yang biasa baginya, Sarah memilih menikmati mi goreng buatan mamanya di beranda kamarnya yang terletak di lantai dua. Lagu kesukaannya mengalun cukup kuat dan udara malam yang sejuk menambah kenikmatan mi goreng yang disantapnya. Sesekali bibirnya bergerak menyanyikan lagu Avriel Lavigne kesukaannya.

Beranda kamar ini adalah tempat favoritnya. Ia bisa melihat langit, merasakan semilir angin yang menyejukkan. Sejak dulu, baginya beranda kamarnya seperti menara pengamat dimana ia bisa melihat sekitar rumahnya dari atas sini.

Dari tempatnya, ia bisa melihat rumah kosong yang biasanya gelap kini terang benderang oleh lampu.
"Tetangga baru.Mama pasti tengah asyik bercengkrama dengan mereka."
Tapi ia heran mendapati Mamanya memasak banyak makanan untuk tetangga baru. Mungkin tetangga ini teman akrab Mama, pikirnya.

Sesekali ia melirik Hpnya yang tergeletak diam di samping piringnya. Sarah melihat jam di kamarnya. Dalam hati ia menghitung satu, dua, tiga. Tepat di hitungan ketiga, sebuah pesan dari Rian masuk.

Lg apa, Rah? Sudah makan ?

Sarah tersenyum singkat. Pertanyaan yang sama di jam yang sama sejak mereka berpacaran. Sarah tersenyum lebar seraya menggerakkan jari-jarinya di tombol handphonenya dengan cepat.

Rian tidak pernah lupa mengirim pesan di jam segini. Dan bila tidak dibalas dalam lima menit... Sarah menghentikan gerakan jarinya dan membatalkan pesan yang akan dikirimnya. Sambil cekikikan, ia kembali menyantap mi gorengnya.

Lima menit berlalu, ia kembali menghitung, dan tepat hitungan kedua puluh, panggilan dari Rian masuk ke handphonenya. Seperti dugaannya, Rian akan segera menelepon.

"Halo ?"
"Halo, Rah. Kamu lagi apa?"
"Ngg.."
"Sudah makan ?"
"Ini lagi makan.."
"Nanti tidurnya jangan kelamaan ya. Oke ?"
"Iya, iya. Kamu sedang apa?"
"Oh, ini lagi ada makan malam sama keluarga. Sudah dulu ya, Rah. Acaranya mau mulai."
"Oke. Bye "
"Bye"

Sarah menghembus nafas berat. Terkadang ia bingung apakah Rian menganggapnya sebagai pacarnya atau anaknya sih? Sebuah pesan masuk ke handphonenya. Dari Rian.

I Lov U, Sarah

Sarah tersenyum. Setidaknya kata-kata dari Rian bisa menghiburnya. Ia menyuapkan mi terakhir. Segelas air putih dingin diteguknya sampai habis.

Dari tempatnya, Ia melihat Mama keluar dari rumah itu. Segera ia turun ke bawah untuk membukakan pintu untuk Mamanya.
"Ternyata untuk mereka ya, Ma, " kata Sarah begitu ia membukakan pintu untuk Mamanya.

Mama mengangkat alis mengiyakan pertanyaan Sarah.
"Mereka teman Mama ya?"
Mama hanya tersenyum pada putrinya yang kini kembali menyalakan televisi dan duduk di sofa.
"Ma ?" panggilnya lagi.
Usai menyimpan tempat makanan, Mama segera menghampiri Sarah.
"Kamu ingat nggak sahabat kamu waktu kecil dulu ?" tanya Mama memulai.
"Ngg..."
Ingatan Sarah berputar ke masa kecilnya dulu.
"Mmm.. Ba..Bastian ?"
"Iya. Berarti kamu masih ingat," kata Mama bersemangat.
"Ada apa dengannya ?"
"Nah, beberapa tahun yang lalu dia pindah ke Jakarta. Sekarang, Bastian dan keluarganya pindah kembali kesini. Ke rumah mereka yang dulu," cerita mama dengan penuh semangat.

"Oh."

"Lho, kok hanya "oh" ? Harusnya kamu senang, dong Rah. Artinya kamu bisa bertemu dengan Bastian lagi."

"Mengapa harus senang, Ma. Biasa saja, Ma. Itu kan masa kecil Sarah dulu. Sekarang Sarah sudah besar."

"Masa kecil juga nggak harus dilupakan begitu saja, Rah," kata Mama lembut. "Kamu ingat waktu kamu pulang ke rumah sambil nangis karena Bastian sudah pindah ?"
Sarah mengangguk tanpa melepaskan perhatiannya dari acara televisi.

"Kalau ada waktu, kamu berkunjung ke sana, Rah. Tante Ratna dengan Oom Surya tadi nanyain tentang kamu."

"Iya, Ma," jawab Sarah dengan nada datar.

"Mama ke kamar dulu ya."

Sarah mengangguk. Sekelebat ingatan masa kecilnya berputar di otaknya. Matanya tertuju pada televisi, tapi hati dan pikirannya melayang ke masa kecilnya dulu.

"Kamu mengapa sedih, Rah ?" Bastian menghentikan sepedanya dan menghampiri Sarah yang tengah duduk termenung dengan raut wajah sedih.
"Nanti malam, Kak Mona akan pergi ke Semarang untuk kuliah."
"Oh, jadi kamu sedih ?"
Sarah mengangguk. "Mengapa harus ke Semarang, sih ? Aku jadi kesepian di rumah."
"Kan masih ada bang Andri, Rah."
"Bang Andri usil ! Kerjanya mengganggu Sarah terus," ujarnya dengan wajah cemberut.
"Masih ada aku, Rah"
Sarah mendongak ke arah Bastian yang kini tersenyum kepadanya.
"Kalau kamu sudah besar nanti, kamu jangan pergi jauh-jauh ya," kata Sarah setelah terdiam cukup lama. Bastian mengangguk.
"Janji ?"
"Janji."

Sarah menggeleng kuat-kuat berusaha membuyarkan ingatan itu dari pikirannya. Ia lalu mematikan televisi dan segera menuju kamarnya. Tiba-tiba saja kantuk kembali menghampirinya.

can we be happy ever after? (COMPLETE)Where stories live. Discover now