alaska; 23

440K 30.5K 1.2K
                                    

VIONA bernyanyi seraya memukul-mukul mejanya. Sangat keras hingga membuat beberapa teman kelasnya mengumpatinya karena cewek itu mengganggu konsentrasi beberapa temannya yang sedang menyalin pr. Renata yang duduk di depannya sampai melayangkan mistar besi di bahu Viona namun cewek jadi-jadian itu tetap tidak kapok juga. Di samping Renata ada Alana yang tengah duduk seraya menaruh kepalanya di atas meja, kebiasaan Alana kalau sudah di tempat duduk.

Hari ini panas sekali, walaupun masih menunjukkan pukul tujuh lewat namun sinar matahari yang masuk ke celah-celah ventilasi entah kenapa membuat Alana risih saat sinar itu mengenai kulitnya. Dengan kesal ia terpaksa memakai tas untuk menutupi kepalanya tak lupa menyupal telinganya dengan sebuah headset.

Bel masuk sudah berdering dari beberapa menit yang lalu namun guru yang hendak mengajar di kelasnya belum juga muncul. Ini salah satu kesyukuran untuk kelasnya. Selain bisa enak-enakkan dulu, mereka juga bisa mengerjakan pr atau ke kantin mengisi perut sebelum mendengar makian guru.

Demi apapun, setiap guru yang masuk di kelas Alana pasti tidak jauh dari kata marah dan penuh makian. Selain di cap sebagai kelas paling rusuh kelas Alana juga yang paling dibicarakan di ruang guru. Dan mungkin alasan seperti inilah yang membuat guru-guru malas untuk masuk di kelasnya.

Namun, persetan dengan semuanya. Intinya, Alana hanya ingin kesenangan untuk saat ini. Lagu-lagu yang mengalun indah saat ini benar-benar memutar kembali kenangannya bersama Alaska saat ia berada di payung yang sama juga saat Alaska menolongnya dari Cello.

Hal itu seakan membekas dan tak ingin hilang dari ingatannya. Di balik tas putih gading yang menutup kepalanya Alana tersenyum bagaikan orang gila. Alana ingin mengulas kembali kisah itu dengan mengingatnya kembali bersamaan dengan alunan lagu yang sedang bermain.

"Semoga dia jadi kenangan dan aku jadi masa depan." setelah mengatakan itu, Alana sekilas menoleh ke arah Alaska yang masih menghadap ke depan sana dengan tangan yang masih menempel erat di lengannya.

Ia tak tau apakah cowok itu mendengar perkataannya atau tidak. Namun, sepertinya Alaska tak dapat mendengar itu sebab hujan deras ini benar-benar meredam suara.

Mereka menepi di teras sebuah bangunan kelas. Alaska berjalan ke sumber informasi begitupun dengan Alana yang mengikuti cowok itu dari belakang.

Tubuh Alaska itu tinggi, tidak kurus dan tidak gemuk. Intinya, body-nya ideal. Bahunya lebar dan kokoh. Hal tersebut membuat Alana geregetan sendiri untuk menahan diri agar tidak nyosor memeluk Alaska sekarang juga.

Kalau dari wajah, Alana sangat suka dengan pahatan rahang juga alis seorang Alaska. Rasanya Alana ingin menggigit rahang cowok itu saking gemasnya. Kalau Alis, ia ingin sekali mengelusnya dengan waktu yang sangat lama.

Di tengah riuhnya hujan pikiran Alana malah ngelantur ingin menerkam Alaska dari belakang. Memukul-mukul kepalanya sebentar kini ia berjalan dengan cepatnya mengusul Alaska sampai dahinya beradu dengan punggung cowok itu.

"Adaww."

"Mata lo gunanya apa sih?"

Alana mengusap-usap dahinya yang sakit, "yaa, buat melihat lah jadi buat apalagi coba?" kini ia sudah berpindah di hadapan Alaska.

"Kenapa nggak lo gunain?"

"Aku gunain kok."

"Digunain, tapi jalannya kayak orang gak punya mata."

ALASKATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang