3

19.1K 1.4K 11
                                    


"Tanteeeeee!"

"Hai sayang!" Aku tersenyum lebar menyambut kedatangan Alya, ia berlari kearahku dan melompat kepelukanku. Aku mengayun tubuhku kekanan dan kiri dengan Alya dalam gendonganku. Ia menciumi pipiku berkali-kali membuatku kegelian, mungkin orang-orang yang melihat kami berpikir aku dan Alya ibu dan anak yang sedang melepas rindu.

"Halo Bik Sumi," sapaku pada Bik Sumi yang kewalahan mengejar Alya, gadis kecil ini terlalu lincah untuk wanita paruh baya bertubuh tambun macam Bik Sumi.

"Halo juga Nak Jani," balasnya disela nafasnya yang memburu, "wah Non Alya saking semangat mau ketemu nak Jani sampai meninggalkan bibik diparkiran, bibik kewalahan mengejarnya." Bik Sumi mengelus dada menstabilkan pernafasannya.

"Maaf Bik, Alya kan nggak sabaran mau ketemu Tante Jani," ucapnya sambil menunduk, ia merasa bersalah telah meninggalkan pengasuhnya.

Aku tersenyum haru, meski masih kecil tapi Alya punya perasaan yang halus dan gampang tersentuh, ia juga tak segan-segan minta maaf jika merasa bersalah. Diam-diam aku salut pada anak bocah kecil ini dan pikiranku mulai diisi pertanyaan, jika ibunya tak menyayanginya lalu siapa yang mengajarinya bersikap santun seperti itu? Ayahnya? Atau Bik Sumi? Hati kecilku tergelitik untuk bertanya tapi segera kuurungkan karena itu sangat sangat keterlaluan, tak baik mengorek rahasia keluarga orang.

Ini Minggu keempat pertemuanku dengan Alya dan kuakui aku makin jatuh hati sama bocah mungil ini, banyak hal yang kami lakukan mengisi sore minggu kami. Alya bahkan membawa buku-bukunya dan memintaku untuk mengajarkannya membaca, ternyata Alya sudah bersekolah diTK. Ia sangat pintar dan cepat menangkap apa yang kuajarkan. Aku juga mengajarinya mewarnai dan menulis. Diam-diam beberapa kali aku memergoki Bik Sumi menghapus air matanya melihat kedekatanku dengan majikan mungilnya.

"Nak Jani, bisa kita bicara?" Aku mendongak menatap Bik Sumi yang duduk dihadapanku, saat ini Alya tertidur dengan menjadikan pahaku sebagai bantal. Mungkin ia kelelahan karena belajar dan mewarnai, aku juga menyuapinya dengan bekal yang sengaja kubawa dari rumah khusus untuknya. Tak kusangka Alya sangat menyukai masakanku dan memintaku untuk membawakannya lagi minggu depan yang tentu saja kusanggupi dengan senang hati.

"Mau bicara apa Bik?" tanganku mengelus rambut halus Alya, rambut pirang berombaknya dibiarkan tergerai kali ini dihiasi bando lucu berwarna merah.

Bik Sumi mendaratkan bokong besarnya disebelahku, saat ini kami duduk dibawah pohon besar disudut taman berhadapan dengan kolam kecil dengan air mancur ditengah-tengahnya. Tempat ini menjadi tempat paforitku dengan Alya, selain tempatnya sejuk dan indah disini juga aku dan Alya bertemu untuk pertama kalinya.

"Bik?"

Bik Sumi tergeragap, sepertinya ia baru saja tenggelam kedalam pusaran lamunannya, tangan kirinya terulur mengumpulkan remahan sisa makan siangku dan Alya yang berserakan diatas tikar kecil yang kami duduki. Tapi aku yakin tindakan Bik Sumi itu hanya pengalihan dari kegelisahan yang dipendamnya.

"Ap..apa boleh bibik minta tolong sama nak Jani?"

"Minta tolong apa Bik?" mataku menatap lekat wajah Bik Sumi, nampaknya ada pembicaraan serius yang ingin disampaikannya.

"Bisakah Nak Jani selalu menemani Alya? Bibik kasihan karena dirumah nggak ada yang menyayanginya selain Tuan muda."

Aku menautkan alisku, sedikit memiringkan wajah agar bisa melihat raut muka wanita tambun disampingku, "Maksud bibik?"

"Tiba-tiba saja Tuan muda pulang membawa bayi mungil dan dia bilang ia mengadopsinya, tak ada yang mau menerimanya termasuk orang tua dan istrinya, tapi tuan Muda tak peduli dan minta bibik untuk merawat bayinya. Bayi itu sehat dan cantik tapi sayang tak mampu menggugah hati nyonya dan nyonya besar untuk memberikan sedikit rasa sayangnya, mereka jijik jika anak itu mendekat dan selalu memarahinya tanpa alasan. Bibik kasihan dan sering berdoa semoga ia menemukan orang yang tulus menyayanginya." Bik Sumi menghapus air mata dengan lengan bajunya.

Aku tertegun mendengar penjelasan bik Sumi, jadi Alya hanya anak angkat dan tak diinginkan oleh keluarganya? Hatiku terenyuh menatap wajah damai Alya yang terbaring dipangkuanku, wajahnya begitu polos dan suci, bola matanya berbinar-binar setiap kali menatapku dan aku mengerti kenapa ia terharu ketika kubersihkan mulut dan pipinya yang belepotan es krim. Rupanya ia tak pernah diperlakukan seperti itu oleh ibu angkatnya. Tanpa sadar airmata tergenang disudut mataku, aku tahu rasanya hidup sendiri tanpa kasih sayang dari orang tua apalagi Alya masih sangat kecil dan ia butuh kasih sayang dan perhatian orang tua, dan itu tak didapatkannya dari keluarga angkatnya ia bahkan dibenci oleh ibu dan neneknya. Betapa miris hidupmu nak, batinku terisak.

"Bibik terharu melihat Nak Jani begitu sayang dan perhatian sama Non Alya, semenjak kecil baru kali ini ada yang menyayangi Non Alya dengan tulus dan itu didapatkannya dari orang lain bukan dari keluarganya."

"Bagaimana dengan ayahnya?"

Bik Sumi menghembuskan nafas kasar, "Tuan muda sangat menyayangi Non Alya tapi ia tak punya banyak waktu buat Non Alya, Tuan Muda sangat sibuk dengan pekerjaannya bahkan ia jarang pulang, jadi karena itulah Bibik sering bawa Non Alya keluar rumah agar tak sering ketemu Nyonya, Bibik takut Non Alya dipukulin Nyonya."

Kuraih tangan Bik Sumi dan menggenggamnya, "Bik, Jani janji Jani akan menyayangi Alya, bahkan sekarang Jani sudah menganggap Alya anak Jani sendiri."

Mata Bik Sumi membesar, "Terimakasih nak." Kami terdiam dan larut dalam pikiran masing-masing, mataku tak hentinya menelusuri wajah mungil Alya, "Kalau boleh bibik tahu, apa Nak Jani sudah menikah?"

Aku tersentak dan menoleh, rasa perih hadir tiba-tiba dijantungku, pertanyaan mengenai statusku sangat sensitive ditelingaku mengingatkanku pada sosok yang mengisi hatiku sekaligus menghancurkannya.

"Tante," Aku bersyukur Alya terbangun dan mengalihkan pertanyaan bik Sumi.

"Eh sudah bangun," kubantu Alya duduk, tangan mungilnya menggosok-gosok matanya sambil menguap. Dengan gemas kucubit pipi tembamnya.

"Sudah sore, kita pulang yuk Non?"

"Yah bibik kok pulang, kan Alya masih betah sama tante Jani," Alya melipat tangan didada dengan bibir mengerucut, protes.

Kutangkup wajah mungilnya dengan lembut, "Sayang, kan besok-besok kita bisa ketemu lagi, sekarang Alya pulang ya?" Alya mengangguk dan dibantu Bik Sumi membereskan buku-bukunya, aku juga merapikan barang-barangku dan melipat tikar piknik kami.

Setelah berpamitan dan tak lupa mencium keningnya kami berpisah, Alya melambai dan berjalan sambil melompat-lompat kecil disisi Bik Sumi menuju mobil yang telah menunggunya diparkiran taman.

***

RATNA ANJANIWhere stories live. Discover now