1

31.7K 1.7K 20
                                    



Sesuai janjiku kali ini aku mengpublish cerita baru berjudul Ratna Anjani, ceritanya ringan dengan konflik yang tak terlalu berat, semoga kalian suka ya? Jangan lupa vote and koment oke!!

RATNA ANJANI

SATU

Happy reading,

"Maaf tante, Alya nggak sengaja, maaf," gadis mungil ini berdiri dengan tubuh gemetar dan kepala tertunduk didepanku, jemari kecilnya saling meremas menandakan ia sangat ketakutan dan perlahan bahunya berguncang menahan isakan, ia menangis.

Aku kaget dan berjongkok menyamakan tinggi dengannya, "hei jangan menangis tante nggak marah kok," ujarku lembut dan mengelus kepalanya. Gadis kecil yang kuperkirakan berumur empat tahun ini tetap menunduk tak berani menatap mataku, kentara sekali ia sangat ketakutan setelah menabrakku dari belakang sehingga aku hilang keseimbangan dan minuman kaleng ditanganku jatuh menggelinding ditanah dan isi tasku berserakan.

"Tapi.....tapi...minuman tante tumpah," ucapnya lagi disela isakannya.

Aku tersenyum dan tanganku terulur mengusap rambutnya yang dikuncir dua, ikatan rambutnya bergoyang-goyang seiring kepalanya yang bergerak menahan tangis.

"Ngak pa-pa sayang, nanti minumannya bisa dibeli lagi, mau bantuin tante ngumpulin barang-barang yang berserakan?"

Ia mengangguk namun kepalanya tetap tertunduk, tangan mungilnya bergerak mengumpulkan isi tasku yang berserakan, ia berjongkok dan berpindah mengejar pulpenku yang menggelinding cukup jauh dan menyerahkannya padaku.

"Ini tante," ia menatapku dengan bola mata penuh air mata, tangannya terulur menyerahkan pulpenku.

Mataku terpaku menatapnya, manik hazelnya yang berkilauan mengingatkanku pada seseorang yang kucintai tapi juga kubenci. Seseorang yang berhasil menghancurkan hatiku berkeping-keping seperti kaca yang ditimpuk batu, seseorang yang menanamkan luka dilubuk hatiku yang paling dalam dan kini luka itu telah berkarat dan kurasa akan sangat sulit untuk menyembuhkannya.

"tante?" suara kecil itu menyadarkanku dari lamunanku, tangannya masih terulur didepanku dan segera kuterima pulpenku dan memasukkannya kedalam tasku.

"Namamu siapa sayang?"

"Alya."

"Mana mama papamu?"

Anak itu menggeleng, "Mom and Dad sibuk, mereka tak pernah nemanin Alya jalan-jalan." Raut sedih terpancar diwajah mungilnya, perlahan aliran bening turun dipipinya.

Aku terkesiap, cepat tanganku menghapus air matanya," udah jangan nangis, mungkin Mom dan Dadmu sibuk bekerja cari uang buat Alya, oh iya Alya kesini sama siapa?" tanyaku mengalihkan kesedihannya.

"Sama Bik Sumi, tadi ia lagi ketoilet."

"Sambil menunggu Bik Sumi gimana kalau Tante temani, kebetulan tante punya cemilan," Ia mengangguk dan kami berjalan menuju bangku taman, sambil menunggu pengasuhnya kami menikmati cemilan yang tadi kubeli dimini market.

Alya anak yang menyenangkan, ia dengan cepat akrab denganku dan kami bercerita sambil tertawa bersama. Senyum bahagia tersungging dibibirku melihat tampang imutnya yang terpingkal-pingkal mendengar ceritaku. Aku menyukai anak-anak itulah sebabnya tiap Minggu sore selalu kuhabiskan ditaman ini. Disini aku bisa menikmati suasana sore sambil mengamati tingkah lucu bocah-bocah mungil yang berlarian dan bermain.

Keberadaanku ditaman ini juga untuk mengobati kerinduanku pada malaikat kecilku, bayi mungil yang sembilan bulan menghuni rahimku dan perjuangan hidup matiku melahirkannya namun aku tak pernah bisa melihat wajahnya, yang kutahu ia berjenis kelamin perempuan. Lelaki arogan itu memisahkan kami dan membawa bayiku sebelum aku sadar dari pingsanku.

Entah dimana ia sekarang, aku bukannya tak mau mencarinya namun aku takut kehadiranku akan membuat pria itu murka. Jika anak itu masih hidup mungkin ia sebesar Alya sekarang, seperti apa rupanya? Apakah ia cantik? Apakah pria itu merawatnya dengan baik? Tanpa kusadari setetes cairan bening hadir disudut mataku dan kuhapus dengan punggung tanganku.

Kuamati lagi Alya yang asyik menjilat eskrimnya, tingkah menggemaskan membuatku mencubit pipi chubbynya, bukannya marah ia malah tertawa senang dan aku pun ikut tertawa melihat mulutnya yang belepotan eskrim. Dengan penuh kasih sayang kubersihkan mulutnya dengan tisu.

Alya menghentikan kegiatannya, bola matanya menatapku dalam membuatku mengernyit, tiba-tiba sorot matanya berubah sendu, "Mom nggak pernah berbuat seperti itu padaku tante, membersihkan mulutku seperti yang tante lakukan."

Aku terhenyak, sedetik kemudian rasa haru merebak didadaku ternyata aksi kecilku membersihkan mulutnya membuatnya mengingat ibunya, apa ibunya tak sayang pada anaknya? "Kenapa?"

Alya menggeleng, "Alya nggak tahu."

"Non Alya, ternyata Non disini bibik sudah cari kemana-mana, kalau Non hilang bibik bisa disate sama papa Non," seorang perempuan paruh baya bertubuh tambun datang dengan tergesa-gesa. Dan berdiri didepan kami dengan nafas tersengal-sengal, sepertinya ia habis berlari menyusuri taman mencari anak majikannya.

"Alya dari tadi disini Bik sama Tante....." Alya menoleh kearahku, "nama tante siapa?"

Aku terkekeh ternyata aku belum memperkenalkan namaku, "Anjani, panggil saja tante Jani."

"Maaf nak Jani, Non Alya jadi merepotkan Nak Jani." Bik Sumi menunjukkan tampang menyesalnya.

"Nggak pa-pa Bik, saya malah senang ketemu sama Alya, ia menyenangkan." Ucapku sambil mengelus rambutnya dan mengecup pipinya lembut. Alya dan Bik Sumi terpana, detik kemudian mata mereka berkaca-kaca membuatku mengerutkan kening, apa tindakanku salah dan membuat mereka sedih? "Kenapa Bik?"

Bik Sumi memalingkan wajah namun masih bisa kutangkap airmata mengalir dipipinya, "Andai nyonya seperti Nak Jani, pasti Alya bahagia," gumamnya namun masih terdengar jelas ditelingaku.

Ada yang tak beres dalam keluarga Alya namun aku tak berniat menanyakannya, bukan sifatku ingin tahu urusan orang lain apalagi orang yang baru kutemui. Namun kuakui Alya mampu mencuri hatiku dan rasanya ingin berlama-lama bersamanya namun keinginanku sepertinya hanya angan-angan.

"Non ayo pulang, sudah sore nanti keburu papanya Non pulang dari kantor."

Alya menatapku, raut matanya seperti tak rela berpisah denganku, "Apa kita bisa ketemu lagi Tante?" tanyanya penuh harap.

Aku mengangguk, "Tentu, tiap Minggu sore Tante ada disini Alya datang saja."

Sorot matanya berbinar, "Sungguh?" Aku mengangguk, ia melonjak-lonjak kegirangan dan melompat kepelukanku, hatiku membuncah dan memeluknya erat, entah kenapa aku merasa memeluk Alya seperti memeluk anakku yang hilang. Alya merenggangkan pelukannya, tangan mungilnya merangkum pipiku dan tanpa kuduga ia mencium keningku, "Aku sayang tante," Aku tersedak tangisanku, terharu dengan perlakuannya.

"Ayo Non," suara Bik Sumi serak, ia menahan tangisannya dan dengan tak rela aku melepas Alya dan mengangkat tangan membalas lambaiannya dan menatap punggung keduanya yang menghilang di belokan jalan.

Dadaku terasa sesak dan perih, kenapa melepas Alya pulang bersama pengasuhnya terasa sesakit ini? rasa sakitnya persis sama seperti sakit kehilangan malaikat kecilku dulu. Sadar Jani sadar, kenapa kau sesedih ini? Dia bukan siapa-siapamu? Tapi kenapa sakitnya tak mau hilang? Kuhabiskan sore ini menangis sendirian ditaman yang mulai diliputi kegelapan.

***

RATNA ANJANIWhere stories live. Discover now