DUA PULUH LIMA - END

66.7K 3.8K 116
                                    

Seminggu setelah kunjungan Ana ke Bogor, Adit mulai misah misuh untuk segera bertemu dengan orangtua Ana. Namun Ana masih menolak karena banyak perkerjaan akhir tahun yang harus ia selesaikan terlebih dahulu. Ia tak ingin pekerjaannya membuat pertemuan dengan kedua orangtuanya kacau. Sudah biasa sih sebenarnya ia membuat janji kepada orangtuanya untuk pulang namun tidak terlaksana. Tapi kali ini ia akan membawa serta Adit, jadi tak bisa memberikan harapan palsu kepada kekasihnya ini untuk membawanya ke Bandung. Belum dijanjikan saja sudah ribut setengah hidup apalagi jika sudah dijanjikan, bisa-bisa ia mengganggu sepanjang hari.

Teringat pula pesan adiknya, Raisha yang memintanya untuk mempertemukan Adit dengan keluarga mereka.

"Pokoknya Kakak harus segera bawa Mas Adit ke rumah! Biar cepet lah proses Rais punya kakak ipar ganteng." Raisha merengek saat malam itu ia menginap di apartemen Ana setelah mengikuti seminar di salah satu hotel di Jakarta. Ana hanya mengangguk menanggapi ucapan adiknya

Saat hari beranjak siang, Ana memutuskan untuk menelfon ibunya. Berencana untuk mengutarakan keinginan Adit untuk bertemu.

"Assalamualaikum Bu." Jawab Ana saat telfon itu sudah tersambung.

"Waalaikumsalam kak. Kakak apa kabar?" tanya ibunya kemudian.

"Sehat kok kakak Bu alhamdulillah. Ibu?" tanya Ana pada ibunya.

"Sehat kok, ayah sama Raisha juga sehat."

"Bu, Weekend ini dirumah?" Ana memastikan.

"Dirumah kok, memangnya ibu mau kemana Kak?"

"Oh, nggak ya kira mau kemana gitu." Ana berdalih.

"Kenapa? Kakak mau pulang?" tanya ibunya lagi.

"Hmmmm, iya bu. Tapi..." Ana menggantung ucapannya.

"Tapi kenapa kak?"

"Kakak bawa seseorang. Boleh?" tanya Ana ragu-ragu.

"Siapa? Pacar kakak? Siapa tuh? Adit Adit itu bukan? Dokter itu?" ibunya memberedel pertanyaan pada putri sulungnya ini.

"Eh, iya bu. Raisha cerita ya?" tanyanya.

"Iya, Raisha norak abis kak waktu cerita ketemu sama pacarnya kakak. Makanya ibu penasaran kayak apa sih pacarnya kakak." Ibunya menjelaskan.

'Kampret lu dek.' Ana menyumpahi adeknya.

"Hmmm, kalau Ana bawa ke rumah nggak papa Bu?"

"Nggak papa lah! Ibu sama Ayah sangat menunggu kesempatan kakak bawa pulang itu pak dokter." Ana mendengar ibunya tertawa disebrang sana.

"Ayah udah tua loh kak, mau gendong cucu katanya." Jelas ibunya lagi.

"Ih ibu apaan sih? Kakak kan cuma baru mau ngenalin doang." Ana berkilah.

"Ih sambil berenang minum air."

"Mati bu." Ana mendengus disambut tawa yang menggelegar dari ibunya.

"Yasudah ibu tunggu ya weekend ini. Ibu siapin kamar ntar buat Adit juga."

"Makasih Bu. Salam buat ayah ya. Kakak lanjut kerja ya. Assalamualaikum." Ana memutus sambungan telfonnya.

Setelah menelfon ibunya, Ana memutuskan mengirim pesan. Mengabari Adit jika ia akan membawa Adit ke Bandung weekend ini.

To: Adit-ku

Sibuk gak weekend? Masih pengen ke Bandung?

Kontak Adit di ponsel Ana telah berubah. Adit yang merubahnya dan Ana tak sanggup menolak saat mengetahui alasan Adit. "Biar inget kalau kamu tuh punya aku. Matanya gausah jelalatan ngeliatin yang bukan punya kamu."

Curing TimeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang