DUA PULUH SATU

41.8K 3.6K 48
                                    

Adit menyambangi apartemen Ana keesokan paginya. Ia membawa lontong sayur untuknya, Ana dan juga Tisa yang tadi malam memutuskan untuk menginap di apartmen Ana. Tampilan Adit yang belum sepenuhnya rapih itu membuat Ana mengernyitkan dahi.

"Kenapa Na?" Adit yang menyadari tatapan aneh Ana terhadapnya kemudian bertanya.

Ana gelagapan saat tertangkap basah sedang memperhatikan Adit, "Eng..eng...ga papa Dit." Ana menyibukkan diri dengan mengaduk kopi panas untuk mereka.

"Yakin ngga papa?" Adit segera mendekati tubuh Ana dan langsung disertai dengan degupan keras jantung Ana. Tempo yang tak beraturan membuat Ana menahan nafasnya.

"Oh malah ngga bisa napas. Maaf ya Na." Adit segera menjauhkan tubuhnya dari tubuh Ana membuat Ana seketika menghembuskan nafas lega.

Tisa yang memang sedari tadi mendapat morning call dari Mas Indra karena ada beberapa berkas yang belum siap untuk meeting pagi ini terpaksa harus meninggalkan Adit dan Ana. Ia pun beranjak pamit sesaat setelah menghabiskan satu gelas kopinya. Berjalan mendekati Ana dan mengecup pipi sahabatnya tersebut.

"Sepagi ini kah Tis?" Ana menatap Tisa dengan wajah memelas.

"Lo tau kan Mas Indra itu bisa berubah jadi mbak-mbak yang lagi PMS kalo udah ngamuk? Gue gamau jadi sasaran kemarahannya kali ini. Sekian." Tisa mengenakan sepatunya sambil mencomot kerupuk lontong sayur yang dibiarkan tergeletak di meja makan.

"Tisa nanti malem nginep sini lagi kan?" Ana berteriak saat melihat Tisa sudah membuka knop pintu apartemennya.

"Ih berisik amat sih lo Noy. Gue udah buru-buru nih. Minta temenin aja sana sama laki lu!" Tisa bergegas meninggalkan apartemen Ana sebelum wanita itu memakinya lebih lanjut.

Kemudian hening. Hanya suara garpu dan sendok yang beradu. Menyisakan kebisuan, Adit dan Ana yang tenang dalam diamnya.

"Na." Adit memanggil, memaksa Ana untuk menatap lamat-lamat wajah maskulin Adit. Rambut-rambut halus yang mulai tumbuh disekitar rahangnya memaksa Ana bertanya dalam hati sudah berapa lama pria ini tak mencukurnya? Tatapan wajah tegasnya kepada Ana masih sama seperti dulu saat kata cinta itu terucap dari bibir manisnya. Ah, Ana sudah gila akan semua ini. Sepagi ini dan semesta sudah bermain-main dengan cara mengacaukan pertahanannya.

"Hmmm." Ana hanya mampu mengeluarkan dehaman dari mulutnya yang terkatup.

"Are you okay?" Tanya Adit menatap lekat wajah Ana yang memerah.

"Baik kok. Terimakasih ya." Jawab Ana kemudian. Tak dipungkiri bahwa hatinya bergemuruh, dadanya tak bisa menerima bahwa ada kegugupan maha dahsyat saat bersama Adit.

"Untuk apa?" tanya Adit selanjutnya.

"Kamu kenapa kemarin ada di basement kantor aku?" Ana tak menjawab pertanyaan Adit, justru melontarkan pertanyaan untuknya.

"Huh?" Adit gelagapan. Tangannya yang tengah menyendok kuah lontong sayur seketika terhenti.

Ana menatap Adit dan Adit berbalas menatapnya. Tatapan mereka beradu, debaran jantung masing-masing memburu. Ana tak yakin ia masih selamat dari jantungnya apabila mata mereka tetap saling beradu seperti itu.

"Aku tanya kenapa kamu ada di basement kantor aku?" paksa Ana kepada Adit. Saat ini emosi dirinya telah terkumpul sangat baik, sehingga ia sudah bisa menghadapi Adit.

"Kalau aku bilang mau ngajak kamu makan siang?" Adit menjawab, ada nada ragu dalam pertanyaannya.

Ana membelalak tak percaya. Matanya terus menatap Adit yang justru sibuk mengaduk-aduk kuah lontong sayur.

Curing TimeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang