T I G A - M A Z E

39 13 8
                                    


Mereka bertiga serentak meletakkan jari telunjuk di atas bola dan memejamkan mata, mencoba berkonsentrasi agar dapat pulang ke rumah.

Cahaya putih mulai muncul dari bola tersebut dan sekitar mereka menjadi gelap lagi seperti waktu Mike menyentuh bola itu untuk membukanya.

Semakin lama mereka berkonsentrasi, semakin kuat juga cahaya dari bola. Dahi mereka mereka mengerut.

Tiba-tiba cahaya dari bola melemah. Elisa yang menyadari hal itu, jadi lebih berkonsentrasi. Sekarang giliran Elisa yang berkonsentrasi paling tinggi.

Namun cahaya tersebut tetap meredup. Dan lama-lama menghilang. Sekitar mereka menjadi terang kembali.

Mike melihat sekelilingnya dan berkata, "Sepertinya kita gagal. Kita masih berada di ruangan yang sama dengan yang tadi."

"Bagaimana kalau kita tidak bisa keluar dari sini?" Alfredo bertanya dengan putus asa.

"Kita periksa ruangan ini saja dulu!" Elisa memberikan ide.

"Wow banyak sekali pintu di sini!" Mike mengedarkan pandangan.

"Dan sama persis semua," lanjut Alfredo.

Mereka baru menyadari aula tersebut di kelilingi oleh tujuh pintu sama persis yang berwarna hitam. Kandelir mewah tergantung di atas ruangan yang tinggi dan luas itu.

Alfredo mendekati salah satu pintu dan mencoba membukanya. Terkunci. Dan kuncinya tidak tergantung disitu.

Setelah mencoba semua pintu yang nyatanya terkunci semua, Elisa mendekati pintu terakhir dan memeriksanya. "Kurasa tidak sama persis Alf, pintu ini berbeda kuncinya dengan yang lainnya," katanya sambil menunjuk pintu yang tadi di amatinya. Pandangan matanya tidak terlepas dari pintu hitam dengan kunci seperti kunci pintu kamar mandi yang jika di tekan tengahnya akan terkunci dari dalam. Dan orang yang berada di luar tidak bisa masuk ke dalam.

Aula ini sebagai luar dari pintu tersebut. Elisa mencoba memutar knop pintu searah dengan jarum jam. Berhasil. Ia segera memberitahu teman-temannya, "Mike! Alf! Lihat! Aku berhasil membuka salah satu pintu ruangan ini."

Alfredo dan Mike langsung bersemangat menuju pintu itu. Di depan mereka terhampar lorong panjang yang bercabang. Dinding lorong tersebut terbuat dari semak-semak yang tingginya kurang lebih dua setengah meter. Seperti halaman yang ditumbuhi semak-semak yang lebat. Tidak ada atap di lorong tersebut.

Sinar matahari pagi memasuki ruang aula. Mereka heran. Bukankah tadi saat pulang sekolah sudah sore? Mengapa di sini sinar matahari masih pagi?

Tetapi mereka juga bersyukur. Karena dengan sinar matahari, lorong di depan mereka tidak gelap gulita.

"Menurutku kita tinggal disini saja daripada tersesat. Itu sepertinya maze," usul Alfredo.

"Kau gila Alf! Kita tidak membawa makanan sama sekali! Kita bisa mati kalau tidak melakukan apa-apa disini. Lebih baik aku menelusuri apa yang kau bilang maze ini daripada aku mati dengan tidak melakukan apa-apa!" Elisa menentang pendapat Alf. Sepertinya perang antara mereka mulai lagi. Walaupun mereka sudah akrab dari kecil, mereka sering sekali bertengkar oleh masalah sepele.

Mike yang dapat mencium perang dunia akan dimulai langsung melerai mereka. "Aku setuju dengan pendapat Elisa. Lebih baik kita mencari tahu."

Elisa tersenyum kearah Mike dan berkata dengan ketus ke Alfredo, "kau lihat, Mike punya otak yang waras, tidak seperti kau!"

Alfredo yang merasa kalah, menatap Mike dengan pandangan 'kau-percaya-dengan-Elisa?'

"Baiklah, kita masuk ke labirin ini." Alfredo akhirnya mengalah.

Note : Sekali lagii,, maaf banget, aduhh, ini soalnya copy dari note, jadi rada error hehe T.T

The Trio and The Lost World (The Wattys2018)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang