"Ohh ..., itu, kemarin dia sakit, pucett banget dari pagi sampai pulang sekolah gak makan. Belum lagi dia malah harus nunggu lama dulu baru bisa pulang untung dia gak pake acara-acara pingsan," ujar Renata dengan keras juga tak lupa nada menyindirnya. Memang di antara ketiganya Renata itu yang paling suka menyindir dan berkata-kata pedas. Mungkin saja salah satu alasan mengapa Regan memutuskan dirinya yah hal ini.

"Lohh ..., seriusan? emang dia nunggu siapa?" tanya Stephany kepo.

-oOo-

Seharusnya saat ini Alana masih di tempat tidur, seharusnya saat ini dia masih bergelung dengan selimutnya namun, setelah mendapat telephone dari guru pendamping ekskulnya bahwa hampir satu bulan ia tidak mengikuti ekskul terpaksa Alana memaksakan diri untuk pergi ke sekolah sore ini. Sebenarnya ia bisa saja tidak hadir namun, mengingat ekskul juga masuk dalam nilai raport terpaksalah ia pergi. Apalagi mengingat kata wali kelasnya saat itu, bahwa ia bisa saja tidak naik kelas kalau seperti ini terus.

Di depan pagar hitam megah rumahnya, Alana berdiri seraya memegang tali tas selempang kecilnya yang berwarna hitam. Ia tengah menunggu Viona yang hendak menjemputnya. Tadi, setelah Pak Halim menelpon dirinya bahwa harus mengikuti ekskul sore ini, Alana langsung menelpon Viona memberitahu cewek itu agar menjemputnya di sini. Viona sempat tak mau sebab mengetahui kondisi Alana yang belum begitu pulih namun, pada akhirnya ia luluh juga kala Alana memberitahu apa yang diucapkan wali kelas mereka pada saat itu kepada Alana.

Cewek berkaos putih dengan bawahan rok hitam kulit itu tersenyum senang kala melihat Viona dan motor besarnya telah sampai. Ia buru-buru mendekat kemudian tanpa disuruh langsung menaiki motor itu padahal Viona belum memutar motornya.

Cewek berjaket hitam kulit itu berdecak sebal kemudian menjalankan motornya, "Sialan! Habis sakit lo malah tambah gila." Alana menoyor kepala Viona yang terlapisi helm hitam, merasa tidak terima dengan penghinaan cewek itu.

"Enak aja, ini tuh namanya buru-buru apalagi Pak Halim nyuruh aku ke rumah Tiwi dulu mau ngambil whistle." terdengar dengusan keluar begitu saja dari seorang Viona. "Ikhlas gak ini?"

"Iya-iya ikhlas tapi gue gak tau rumahnya."

"Nanti gue tunjukkin."

"Emang kenapa Si Tiwi gak latihan?"

"Sakit."

"Loh, lo kan juga sakit kelesss." Alana berdecak, harus berapa kali sih dia jelaskan pada cewek ini kalau ia itu jarang latihan, nilai sekolahnya saja anjlok jangan sampai di ekskul malah ikut-ikutan, apalagi dia sangat dibutuhkan kali ini, mengingat akan ada perlombaan marching antar sekolah menengah atas. Tiwi juga tidak hadir bersamaan dengan Kiara yang notebene gitapati marching yah jadi Alana lah yang didesak sama Pak Halim untuk datang.

"Lo mah gak mikirin kondisi lo sendiri."

"Gue udah baek-baek kali, Vi."

"Sekarang emang lo baek tapi sentar kalau udah mutar tongkat pasti puyeng yakin deh."

"Lo mah nyumpahin. Gue udah bilang yah, kalau gue udah baekkan jangan ngomongin kondisi gue lagi, gue males dengernya."

Viona berdecak, ini yang tidak ia sukai dari seorang Alana, keras kepala. Mungkin, nantilah Alaska yang berkata barulah cewek itu menurut. Asumsi Viona.

ALASKAWhere stories live. Discover now