20. Diam-diam Suka

5.9K 710 3
                                    

"Terimakasih telah jadi penyemangat, meski kamu hanya singgah sesaat."

"Mereka sengaja ya?" ujar Pak Deva tiba-tiba saat hanya tinggal kami berdua di ruang karaoke ukuran large ini.

Aku hanya tertawa canggung. "Mungkin," jawabku.

Hening lagi. Mulut kami seolah mengunci otomatis setiap habis melontarkan satu kalimat. Ngomong dikit, diam, ngomong dikit, diam lagi. Gitu aja terus.

"Kamu paham maksud saya dibalik lagu itu kan, Sandy?" tanyanya kemudian setelah cukup lama hanya suara potongan lirik lagu random yang terdengar dari LCD TV.

Aku bergeming. Tidak mengangguk ataupun menggeleng. Aku mengerti maksudnya, tapi aku tidak yakin dengan maknanya yang kuartikan sendiri ini. Lagipula, kami baru bersama selama dua minggu. Interaksi kami juga wajar-wajar saja—menurutku. Apa benar yang Pak Deva rasakan untukku itu cinta?

"Jadi, apa saya bisa menunggu sampai kamu berpisah dengannya?"

Aku tertegun. Pertanda apa ini? Kak Fandy baru saja mematahkan hatiku dan sekarang Pak Deva datang seolah menawarkan diri untuk merawat lukaku. Haruskah aku bersama dengan Pak Deva saja? Toh, bila dengannya aku hanya perlu belajar untuk menerimanya saja kan? Bukankah lebih mudah jika kita bersama orang yang mencintai kita? Sebab ia takkan pernah berani melukai perasaan kita.

Tapi...

Terputar kembali bayangan di pikiranku bagaimana aku yang dulu senang setengah mati waktu chat pertamaku dibalas Kak Fandy, bagaimana aku yang deg-degan waktu Kak Fandy ke rumah padahal tujuannya adalah menemui Mas Ares bukan menemuiku, bagaimana aku yang merasa panas dingin tiap kali dia melemparkan candaan yang menggoda. Aku tak yakin bisa merasakan itu semua pada Pak Deva. Aku tak yakin bisa mencintainya segila itu.

"Maaf, Pak," ujarku pada akhirnya. Setelah sekian lama diam dan berpikir, aku tersadar. Bahwa jatuh cinta itu butuh kesiapan, bukan semata-mata hanya karena kesepian. Dan untuk saat ini aku belum siap. Aku belum ingin membuka hati untuk yang lain. Aku belum ingin memulai dari awal lagi.

Kulihat Pak Deva tersenyum meski matanya nampak sedu. "Saya mengerti. Kamu sangat mencintai dia bukan?"

Aku hanya diam memandangi Pak Deva sampai tanpa sadar air mataku menggenang sebab teringat ucapan Kak Fandy yang hanya menginginkan hubungan kami hanya sebatas teman. Buru-buru kudongakkan kepalaku sambil mengerjap. Aku tak ingin menangis, setidaknya tidak di depan Pak Deva.

"Terkadang saya iri pada lelaki itu, terlebih ketika melihat wajah kamu yang berseri-seri saat ia datang menjemputmu. Kamu tidak pernah menunjukkan wajah seperti itu di hadapan saya. Bahkan ketika saya memberi kode sekalipun, kamu hanya mematung kebingungan."

"Maaf, Pak," lirihku lagi. Aku benar-benar merasa tak enak karena secara tidak langsung Pak Deva baru saja mengungkapkan bahwa selama ini ia memperhatikanku bahkan meski aku tak sadar akan kehadirannya. Ia ada meski aku menganggapnya fana.

"It's okay, Sandy. Dalam cinta, terluka atau patah hati itu adalah hal yang biasa. Semua orang pasti pernah merasakannya. Dan kita sudah cukup dewasa untuk memahami hal itu."

Ya, Pak Deva benar. Aku pun sedang merasakannya saat ini.

"Saya bersedia mundur jika kamu memang memilihnya. Sebab saya tahu kalian saling mencintai."

Aku tersentak mendengar kalimat terakhir yang terucap dari bibir Pak Deva. Kalian saling mencintai? ulangku dalam hati. Pak Deva berasumsi atas dasar apa?

"Maksud Bapak?" Akhirnya kusuarakan pertanyaan yang mengganjal pikiranku.

"Cara kekasihmu menatap saya itu menunjukkan ketidaksukaannya. Itu adalah cara pria menunjukkan bahwa ia tidak ingin miliknya diganggu. Dengan kata lain ia tidak ingin kamu berada di dekat saya. Saya yakin dia pasti ingin sekali memukul saya namun dia menjaga sikapnya karena dirimu, Sandy. Saya bisa mengatakan hal ini sebab dulu saya pernah merasakannya. Saya seringkali cemburu kalau Devira sedang bicara dengan lelaki yang tidak saya kenal. Terlebih jika lelaki itu menunjukkan gelagat suka pada Devira."

Aku mencoba mencerna ucapan Pak Deva. Benarkah Kak Sandy menyukaiku? Tapi kenapa yang dilakukan Kak Fandy justru sebaliknya? Ah, mungkin Pak Deva salah menilai. Tidak semua lelaki seperti itu kan?

"Bagaimana juga saya ingin mengucapkan terima kasih padamu, Sandy. Saya harap kita masih bisa berhubungan baik." Pak Deva mengulurkan tangannya di hadapanku dan aku pun menyambut uluran tangan itu.

Sambil tersenyum dan mengangguk, aku berucap dengan yakin. "Pasti, Pak."

"Kita keluar sekarang? Atau kamu masih mau nyanyi?"

Aku menggeleng. Dibanding menyanyi, aku lebih ingin tidur sekarang. Galau ternyata menghabiskan banyak energi karena aku merasa lemas sekarang.

Usai membayar bill, Pak Deva menawarkan diri untuk mengantarku pulang namun aku menolaknya dengan alasan sudah meminta dijemput. Dengan begitu Pak Deva tidak akan bersikeras untuk mengantarku pulang. Lagipula aku juga gak mau kalau Mas Ares melihat Pak Deva mengantarku pulang. Bisa-bisa dia semakin berpikir yang aneh-aneh. Poin kedua adalah karena aku gak mau Pak Deva masih berharap padaku. Aku tidak bodoh. Menghabiskan waktu bersama orang yang kau sukai akan meruntuhkan dinding pertahananmu meski kau sudah bertekad melupakannya. Dan aku tak ingin itu terjadi pada Pak Deva. Ia dan aku perlu menata hati kami masing-masing.

Sembari menyusuri mall menuju pintu keluar, aku mengeluarkan ponselku dengan niat untuk memesan ojek online. Namun aku terkejut saat ada delapan panggilan tak terjawab dari nomor Kak Fandy. Ia juga mengirimiku chat.

Kak Fandy: Kamu lagi ke luar ya? Aku berangkat naik gunung hari ini. Sa, aku ngirimin pesan suara, tapi diputarnya nanti aja. Tunggu aku pulang, oke?

Ah, ya, Kak Fandy berangkat hari ini rupanya. Kadang aku cemburu pada gunung-gunung yang lebih mampu menarik minat Kak Fandy dibandingkan diriku. Ah sudahlah. Aku pun kemudian mendownload pesan suara dari Kak Fandy tanpa memutarnya, seperti permintaannya.

Sandy: oke, take care yaa.

Ceklis satu. Dia pasti tidak menyalakan ponselnya, atau disana sulit sinyal. Ah sudahlah, kami masih bisa bertemu lagi nanti. Iya, kan?

***

To be continue

CRUSH Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang