16. Garis Terdepan

5.4K 691 14
                                    

"Mencintai seseorang secara membabi buta hanya akan membuat dirimu jatuh terluka."

"Sa, kamu tahu gak?"

"Hm?"

"Ada yang bilang kalau cara terbaik dari mencintai seseorang adalah dengan menjadi temannya."

Aku diam, menunggu Kak Fandy melanjutkan kalimatnya yang menurutku menggantung itu.

"Karena dengan menjadi temannya kita bisa terus berada di sampingnya, berbagi banyak hal dengannya, dan melewati setiap waktu bersama."

"Jadi?" tanyaku akhirnya saat kurasa Kak Fandy terlalu bertele-tele dengan kalimatnya.

"Jadi... ya... aku mau kita bisa tetap seperti ini. Aku nyaman berteman dengan kamu, ngobrol banyak hal sama kamu, jalan bareng berdua kayak gini. As a friend. Kamu keberatan gak, Sa?"

Aku mencoba menelan salivaku sepelan mungkin agar Kak Fandy tidak melihatnya. Agar Kak Fandy tidak mengetahui ada rasa getir yang membuatku tercekat.

"Nggak kok, Kak. Aku juga nyaman jadi teman Kakak." Aku menyunggingkan senyumku senatural mungkin. Ternyata benar ya apa kata orang, rasa nyaman mampu membuat lupa bahwa status kita hanya sebatas teman.

"Makasih ya, Sa." Harusnya aku senang saat tangan Kak Fandy mengusap puncak kepalaku, tapi kenapa yang kurasakan justru malah sesak?

Hingga ketika pesanan kami datang dan aku memakan ayam geprek milikku, aku masih berusaha untuk menahan rasa yang berkecamuk di dalam ruang dadaku.

Apa ini? Apa mungkin cabai ayam geprek yang kumakan terlalu banyak hingga rasanya mataku perih sampai ingin menangis?

"Sa, kamu kenapa?"

"Kepedesan," kilahku sambil mengambil tisu dan mengusap tetesan air mata yang jatuh membasahi pipiku. Sialnya lagi kayaknya bukan cuma ayamnya yang kepedesan, tapi teh manisku pun rasanya pahit ketika menyentuh lidah. Ini aku kenapa sih?!

"Mau pesen lagi aja? Cabainya dikurangin. Nanti perut kamu sakit loh, Sa."

"Gak usah, Kak. Aku bisa." Kalau cuma menahan sakit perut aja sih aku masih bisa, yang gak tahan sakit hatinya ini loh. Enggak, bukan Kak Fandy yang menyakiti hatiku. Aku sendiri lah yang membangun ekspetasi terlalu tinggi hingga pada akhirnya ketika hal itu tidak terpenuhi rasanya sakit berkali-kali lipat.

"By the way, Sa, lusa bisa temani aku beli jaket? Minggu depan aku bakal naik gunung sama temen-temen."

"Naik gunung lagi?" tanyaku. Seingatku dia belum lama turun gunung, terus sekarang sudah mau naik lagi? Ah, Sandy, bahkan gunung saja masih lebih menarik baginya ketimbang dirimu, batinku pedih

"Iya, Sa. Kenapa?"

Aku kesal, aku patah hati, aku cemburu sama gunung, aku jengkel, aku pingin nangis. "Aku gak apa-apa."

"Bisa temani aku?" tanyanya lagi

Aku menganggukkan kepalaku mengiyakan ajakannya. Come on, Sa, bersikaplah dewasa, pintaku pada diriku sendiri. Meski harapanku pupus, bukan berarti persahabatan kami harus putus juga kan? Arghhh!! Tetapi tetap saja kenapa dadaku rasanya begitu sesak?

***

Pada akhirnya aku menjadi orang munafik yang mendustai ucapannya sendiri. Di hari Kak Fandy mengajakku untuk menemaninya, aku justru beralasan tidak bisa. Di hari berikutnya juga aku beralasan lagi ingin menemani Mama belanja padahal kenyataannya aku hanya mengurung diri di kamar. Menata serpihan hati yang berantakan, yang takkan kembali utuh karena beberapa kepingannya benar-benar telah hancur.

Aku tahu ini salahku sendiri. Mencintainya dengan sangat sampai tak terpikir bahwa ia menganggapku hanya sebatas sahabat.

Aku terlalu sibuk berfantasi dengan mimpi-mimpi yang kuciptakan sendiri. Hingga aku lupa bahwa dunia kadang tak sesuai imajinasi.

"Sa, Mama boleh masuk?"

Aku menghapus air mataku dengan cepat sebelum mempersilahkan Mama masuk. Konyol rasanya kalau Mama melihatku menangis. Meski jujur saja aku sangat ingin dan butuh menangis di pelukannya saat ini.

"Kamu beneran udah makan di kampus?" tanya Mama begitu ia duduk di sebelahku.

"Udah kok, Ma. Sama ayam bakar tadi sambil nunggu hujan berhenti." Sebenarnya aku bohong. Aku makan ayam bakar itu kemarin siang. Kalau hari ini aku cuma minum jus buah mangga saat istirahat. Lalu tadi selama nunggu hujan juga aku cuma main ponsel di kampus. Tapi aku gak mau membuat Mama khawatir. Kalau dia tahu hari ini aku belum makan nasi hari ini pasti dia bakal ngomel.

"Kamu magang tinggal berapa hari lagi?"

"Besok hari terakhir kok, Ma."

"Sa, kamu ada yang disembunyiin dari Mama ya?"

Deg! Degup jantungku mulai tak beraturan mendengar pertanyaan dari Mama. Terlebih dengan tatapan matanya yang seolah sedang membacaku. Membuatku mati-matian menahan diri agar air mata ini tidak tumpah di hadapannya.

"Sembunyiin apa? Enggak ada kok, Ma."

"Beneran?"

"Iya Mama cantik. Udah malam nih, Mama gak mau manja-manjaan sama Papa di kamar? Abis hujan loh ini Ma, enak."

Mama langsung menggeplak kepalaku dengan empat jari sekaligus. "Anak perawan otaknya udah gak perawan!" omelnya. Aku hanya tertawa sambil terus menggodanya sampai pada akhirnya Mama menyerah dan keluar dari kamarku. Semoga saja Mama gak mengutuk aku.

Setelah Mama keluar, aku mengunci pintu kamarku dan kembali merebahkan tubuh di kasur. Senyum ceriaku saat menggoda Mama tadi seketika hilang. Topeng yang tadi kugunakan untuk bertemu Mama ternyata tidak tahan lama.

Ponselku bergetar tepat saat aku mengambilnya dari meja di samping ranjangku. Rupanya ada chat dari Kak Fandy. Ia mengajakku untuk pergi besok.

Kak Fandy: Sa, kapan bisa temani aku? Besok free?

Aku menghela napas sesaat. Aku gak bisa menghindar terus-terusan kan?

Sandy: Besok bisa. Aku pulang dari kampus jam 3 sore.

Belum ada semenit, balasan dari Kak Fandy sudah masuk ke ponselku. Cepat banget. Apa dia nunggu balasanku? Ah, enggak, mungkin kebetulan lagi pegang handphone juga.

Kak Fandy: Besok kujemput ya?

Sandy: Boleh.

Kurasa besok aku harus mengutarakan perasaanku yang sebenarnya pada Kak Fandy. Meski dia sudah tahu kalau aku menyukainya, tapi aku ingin mengatakannya dengan serius. Aku tidak memintanya untuk membalas perasaanku. Aku hanya tidak ingin menyimpan hal ini sendirian terus. Jika setelahnya kami tidak bisa dekat lagi seperti ini, setidaknya aku sudah lega. Sebab mencintai dalam diam itu seperti memegang jarum dalam genggaman. Memang tidak terlihat, tapi sebenarnya sangat menyakitkan. Menusuk dalam hingga terasa nyeri. Dan aku tidak ingin merasakan rasa sakit ini terus-terusan.

***

To be continue

CRUSH Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang