15. Salah Paham

5.6K 690 5
                                    

"Kesalahan terbesar kita adalah membiarkan diri diliputi salah paham."

Hubunganku dan Kak Fandy berangsur membaik. Sepulangnya dari dufan, komunikasi kami kembali lancar. Kak Fandy bahkan setelah itu selalu menjemputku sepulang kerja. Lalu biasanya kami akan menyempatkan membeli makan. Entah itu makan di tempat ataupun untuk kubawa pulang ke rumah.

Seperti hari-hari sebelumnya, saat ini aku sedang menunggu Kak Fandy untuk menjemputku. Biasanya aku menunggu di masjid sekalian menunaikan sholat maghrib, tapi berhubung saat ini aku sedang datang bulan jadi aku menunggunya di lantai dua gedung utama kampusku sambil men-charge ponselku. Soalnya kebetulan sekali ponselku low bat dan di lantai satu sudah penuh semua tempat charger-nya. Zaman sekarang kebutuhan hidup orang itu bukan lagi sandang, pangan, papan, tapi smartphone, wifi, dan charger. Ada tiga benda itu aja rasanya hidup udah lengkap.

"Belum dijemput?" Aku mendongak dan mendapati Pak Deva baru saja keluar dari ruangan rektor.

"Iya, belum nih, Pak. Bapak habis rapat?"

Pak Deva kemudian berjalan menghampiriku dan duduk di sebelahku dengan menyisakan jarak yang masih cukup untuk diisi satu orang lagi. "Enggak. Habis ngobrol aja sama Pak Budi."

Aku manggut-manggut sambil membulatkan mulutku membentuk huruf O. "Bapak akrab ya sama Pak Budi?"

Pak Deva tersenyum simpul. "Biarpun saya batal jadi menantunya, bukan berarti saya harus memutus silaturahmi kan?"

Batal jadi menantu? Kalau begitu... ya ampun! Jadi mantan tunangan Pak Deva itu anaknya Pak Budi? Ya Tuhan, dunia emang beneran tidak selebar daun kelor ya?

"Kamu jangan sebarin cerita ini ke siapa-siapa ya," ujar Pak Deva dengan nada bisik-bisik. Aku pun mengangguk mengiyakan. Lagian buat apa juga aku ceritain ke orang-orang? Gak ada untungnya di aku. Aku bukan tipe orang yang suka membongkar aib orang lain.

"Pacar kamu jemput jam berapa emangnya?" tanya Pak Deva kemudian.

"Bentar lagi paling, Pak. Soalnya tadi dia bilang mau isi bensin dulu." Aku tak berniat mengkoreksi prasangka Pak Deva yang mengira aku dan Kak Fandy berpacaran. Biarlah, ini kan hubunganku dengan Kak Fandy. Kurasa aku tak perlu memberi konfirmasi pada orang lain seperti apa status hubungan kami─yang sebenarnya memang tak ada kejelasan status juga sih.

"Sebentar lagi kontrak magang kamu habis ya?"

Aku mengangguk mengiyakan. Gak berasa banget kalau sebentar lagi magangku selesai. Kontrakku memang cuma dua minggu karena masa daftar ulang di kampusku itu memang cuma sekitar tiga mingguan. Jadi ya aku kebagian di dua minggu terakhir.

"Kamu udah nyusun skripsi belum?"

"Di semester ini, Pak, insyaallah baru mau mengajukan."

"Semoga lancar ya. Jangan sungkan kalau mau minta bantuan saya."

Aku hanya tersenyum tipis. "Amin. Minta do'anya aja, Pak."

Setelah itu kami sama-sama diam. Hening. Sebenarnya banyak orang yang berlalu-lalang di sekitar kami tapi entah kenapa aku merasa situasi ini sangat canggung.

"Saya tiba-tiba jadi terpikir sesuatu." Aku mendongak menatap Pak Deva saat ia mengatakan itu setelah menit-menit berlalu dengan kami saling diam.

"Ada apa, Pak?" tanyaku.

"Seandainya kamu bertemu saya lebih dulu, mungkin gak kalau saat ini yang sedang kamu tunggu itu saya?"

Sekujur tubuhku langsung mematung mendengar pertanyaan yang terlontar dari mulut Pak Deva.

Seandainya....

Memikirkan itu membuat jantungku berdebar-debar. Terlebih lagi Pak Deva seolah mengunci bola mataku agar tidak dapat melihat ke arah lain selain bertatapan dengannya.

Seandainya masing-masing dari kami bertemu lebih awal, akankah itu mengubah takdir yang saat ini terjadi?

Kontak mata kami terputus saat ponselku berdering dengan nama Kak Fandy tertera di layar. Buru-buru kujawab panggilan masuk darinya itu dan aku terkejut saat mendengar suaranya mengucapkan "Hai" terasa begitu dekat. Ini...

Dengan takut-takut kuangkat kepalaku dan benar saja aku menemukan sosok Kak Fandy dihadapanku dengan ponsel ditangannya.

"Bisa kita pulang sekarang?" ucapnya seraya mendekatkan ponselnya ke mulutnya namun tatapan matanya ke arahku.

Untuk yang kedua kalinya kami terjebak dalam situasi ini lagi. Aku dan Pak Deva duduk berdua, dan Kak Fandy yang terkesan memergoki kami. Shit!

***

Jika sebelumnya Kak Fandy mendiamkanku, kali ini ia bersikap seperti biasa. Mengajakku bicara seolah tidak terjadi apa-apa sebelumnya. Padahal kutahu dari caranya berbicara sambil memegang ponselnya tadi menunjukkan gestur bahwa ia marah. Tapi kini dia terlihat sama sekali tidak terganggu. Sialnya, hal ini justru membuatku uring-uringan.

Mau minta maaf, tapi Kak Fandy tidak membahasnya. Mau diam saja, tapi aku merasa tidak enak padanya. Aku harus gimana??!

"Mau makan dulu? Tadi di jalan aku lihat ada tempat makan ayam geprek gitu. Mau coba?" tanya Kak Fandy sambil melihatku dari spion kiri motornya yang memang sengaja ia belokan ke arah wajahku. Aku pun mengangguk setuju. Kebetulan juga perutku terasa lapar.

Sekitar sepuluh menit perjalanan dengan sepeda motor kami tiba di warung makan ayam geprek yang Kak Fandy maksud. Lokasinya ternyata masih di daerah belakang kampusku. Kalau saja jalanan tidak sedang macet, paling gak sampai lima menit kami sudah tiba disini.

"Kamu mau berapa cabainya?" tanya Kak Fandy sambil melihat-lihat daftar menu untuk dipesan.

"Tujuh aja, Kak."

Ia mengangguk kemudian menuliskan pesananku. Setelah menambahkan ayam geprek dengan sepuluh cabai untuk dirinya dan juga dua gelas es teh manis, Kak Fandy pun berjalan ke meja kasir untuk menyerahkan daftar pesanan kami sekaligus membayarnya.

Setelahnya ia kembali dengan membawa dua gelas es teh manis. Rupanya untuk pesanan es teh manis kami tinggal membuatnya sendiri. Cukup dengan mengambil gelas dan mengisinya dengan es batu sesuai selera, lalu menuangkan air teh manis dari dalam teko yang sudah disediakan di tiap sudut. Kami juga diperbolehkan untuk refill.

"Makasih, Kak," ujarku saat ia meletakkan satu gelas es teh manis di hadapanku.

Kami kemudian saling bertukar cerita soal kegiatan kami hari ini. Kak Fandy cerita tadi teman kantornya ada yang dikerjain karena sedang berulang tahun. Sebenarnya aku sangat menyukai saat-saat seperti ini. Aku suka ketika kami saling bercerita soal keseharian kami. Karena dengan begitu aku merasa setiap hari berada di dekat Kak Fandy meski pada kenyataannya kami hanya bertemu sepulang kerja. Tapi kali ini aku merasa gelisah. Aku terus menduga-duga tentang apa yang mungkin Kak Fandy pikirkan saat melihatku duduk bersama Pak Deva untuk yang kedua kalinya tadi.

Aku mencoba mencari celah untuk memberi penjelasan pada Kak Fandy namun rasanya begitu sulit. Hingga akhirnya kata-kata yang keluar dari mulut Kak Fandy selanjutnya membuatku tersadar bahwa aku takkan pernah menemukan celah itu.

***

To be continue

CRUSH Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang