8. Percayalah

6.2K 797 8
                                    

"Aku cemburu, pada waktu-waktu yang kau habiskan tanpaku."

Hari ini aku benar-benar merasa galau tak karuan. Bawaannya tuh uring-uringan terus. Semula berawal dari telepon Kak Fandy semalam.

Saat itu kami sedang asik membicarakan soal Mas Ares dan Kak Raisya. Soal rencanaku bersama Mama yang berhasil menjebak Mas Ares dan Kak Raisya untuk pergi bersama.

"Terus Ares ngamuk gak?" tanyanya setelah puas mentertawakan ceritaku tentang raut wajah kikuk Mas Ares saat melihat Kak Raisya yang menjadi kado ulang tahunnya.

"Sempat ngomel sih pas dia pulang, tapi gak lama. Besoknya udah biasa lagi. Paling juga sebenarnya dia senang bisa pergi bareng Kak Raisya."

"Hahaha lagian kamu sama Mama jahil banget."

Ini nih bagian yang paling kusuka. Saat mendengar Kak Fandy memanggil orang tuaku dengan sebutan 'Papa' dan 'Mama' juga, bukannya 'Om' dan 'Tante'. Kak Fandy memang sudah dekat sejak lama dengan orang tuaku. Aku suka caranya yang mampu berbaur dengan keluarga sahabatnya. Aku suka caranya memperlakukan orang tuaku seperti layaknya orang tuanya juga.

"Ya biarin sekali-kali."

"By the way, Sa... aku izin naik gunung ya?"

Deg! Waktu seolah berhenti sejenak. Membiarkan otakku bekerja menerima informasi yang sebenarnya tak ingin kudengar.

Ya, aku tahu Kak Fandy adalah pegiat alam. Aku tahu ia sudah sering naik-turun gunung. Dan sungguh, dari semua hal tentang dirinya, hobinya yang satu itulah yang paling sulit untuk kuterima.

Bukannya ingin mengatur atau mengambil kebebasannya melakukan hal yang disukainya, tapi aku merasa takut yang teramat sangat. Apalagi mendengar beragam kejadian dan kecelakaan di gunung, aku takut Kak Fandy pamit pergi dan tak pernah kembali lagi.

Lagian ya, dia belum lama baru pulang masa udah mau pergi lagi?

"Sa?"

"Hah? Ehm... kenapa Kakak perlu izin dariku?" Kemarin pergi juga tinggal pergi.

"Ya aku kan bakal sulit dihubungi nanti, perginya juga gak sebentar. Jadi aku ingin pergi dengan membawa restu dari banyak orang supaya bisa pergi dan pulang dengan selamat."

Ya Tuhan kenapa dia ngomongnya begitu sih? Aku kan jadi tambah takut... "Seandainya aku gak izinin?"

"Maaf, Sa, tapi aku sudah harus berangkat besok."

Ada sebersit rasa sakit di hatiku mendengar jawabannya. Lalu, untuk apa ia meminta izinku jika dia sudah memutuskannya sendiri?

"Kalau begitu pergilah," ucapku pada akhirnya.

"Sa, maaf ya bukan maksudku ti─"

"Kak, aku mulai ngantuk kayaknya," potongku. Aku tahu ini tidak sopan tapi aku juga tidak memiliki mood yang bagus untuk melanjutkan topik pembicaraan ini.

"Oh, ehm, ya sudah kalau kamu memang mau tidur. Selamat beristirahat."

"Yes, you, too." Aku mengakhiri pembicaraan di telepon lebih cepat malam itu.

Ah, gadis bodoh. Mengimbangi orang yang kau sukai saja tidak bisa, makiku pada diriku sendiri.

"Sasa itu TV kalau gak kamu tonton matiin aja deh. Rusak nanti kalau ganti-ganti saluran gak karuan gitu." Teguran Mama membuatku tersentak dan lantas mengikuti perintahnya. Masih dengan hati yang gelisah, aku menekuk kedua lututku dan menguncinya di depan dadaku dengan kedua lengan.

Mau marah tapi buat apa? Mau galau terus-terusan tapi ini cuma soal sepele. Rasanya semakin tak karuan, terlebih jika mengingat chat terakhir dari Kak Fandy yang hanya mengatakan bahwa ia akan menghubungiku lagi kalau sudah kembali dari pendakiannya.

"Kamu kenapa sih, Sa? Bete banget mukanya," tanya Mama yang kini sudah duduk di sebelahku.

"Ma, ada gak sih hobi Papa yang Mama gak suka?" tanyaku balik.

"Hm... ada. Kenapa?"

"Apa yang Mama lakuin?"

"Ya terima-terima aja selama masih dalam batas wajar. Dulu papamu kalau olahraga di hari weekend pulangnya suka bawa barang bekas. Ntah itu tas rusak, botol bekas, sepatu rusak, macem-macem lah pokoknya. Terus nanti sama dia diperbaikin atau dibuat jadi apa gitu sesuka dia. Buat Mama jelas itu nyebelin karena bikin sempit rumah. Mama coba bilang langsung ke Papa, akhirnya kita sepakat buat bikin gudang di belakang rumah sebagai tempat barang-barang itu, terus dia juga cuma boleh mungut barang-barang bekas gitu tiga macam aja dalam sebulan jadi kan gak begitu numpuk kayak sebelum-sebelumnya tuh."

Mama sih enak statusnya udah jelas. Jadi bisa protes dan cari solusi bareng-bareng juga. Lah aku? Belum jadi apa-apa aja masa udah protes ini-itu?

"Kamu memang lagi gak suka sama hobinya siapa sih, Sa?"

Aku hanya nyengir kuda merespon pertanyaan Mama. Ketara banget ya tadi pertanyaanku ke dia itu adalah sebuah bentuk refleksi.

"Ada, Ma, temanku. Dia suka naik gunung. Aku kan takut di sana ada apa-apa."

"Ooh, Fandy."

Eh? Kok Mama langsung tahu? Ish, dasar ya emak-emak.

"Ya makanya dido'ain biar selamat pergi dan pulangnya. Lihat noh Raisa aja tahan sama Hamish padahal Hamish kan pekerjaannya sering pergi ke tempat-tempat yang susah sinyal. Komunikasi mereka pasti jarang. Apalagi dua-duanya sama sibuknya. Kuncinya apa? Percaya dan berdo'a. Kalau tangan kamu gak bisa mencapainya, biarkan tangan Tuhan yang bekerja lewat setiap do'amu."

Bener juga ya apa yang dikatakan Mama. Aku uring-uringan gini juga apa gunanya? Toh, orangnya juga sudah berangkat. Daripada terus-terusan negatif thinking, mending aku mikir yang baik-baik aja kan?

"Udah, gak usah galau. Semua yang pergi pasti kembali kok, Sa. Entah itu kembalinya ke kamu lagi atau ke yang lain."

"Iya, Ma." Pada akhirnya aku mencoba mengerti kondisinya dan mempercayakan semua kepada-Nya.

Kak Fandy, jaga dirimu. Ingat, ada yang menunggumu pulang.

***

To be continue

CRUSH Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang